Powered By Blogger

Jumat, 25 Desember 2009

ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh : Muhammad Yusri


Pendahuluan
Demokrasi merupakan salah satu konsep atau sistem politik yang berasal dari Negara barat. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalan organisasi negara dijamin. Hingga saat ini, demokrasi merupakan terminologi politik yang paling populer dan sering dipakai beberapa negara - termasuk juga negara-negara Muslim. Namun para pakar politik belum sepakat, apakah demokrasi itu sekadar alat untuk mencapai tujuan, ataukah menjadi tujuan itu sendiri.
Islam sebagai agama yang cinta damai pada dasarnya tidak mengenal istilah “demokrasi”. Namun esensi dari demokrasi juga menjadi doktrin Islam yang dikenal dengan istilah “musyawarah” yang juga melibatkan banyak orang. Hanya saja musyawarah bukanlah suara terbanyak sebagaimana yang biasa dipraktikkan dalam berdemokrasi. Sebab tidak ada jaminan suara terbanyak memperjuangkan kebenaran. Bisa jadi sekelompok orang yang berwenang bersekongkol mengambil dan memutuskan kebijakan berdasarkan kepentingan pribadi mereka.
Prinsip “musyawarah” dalam Islam berdasarkan kepada nilai-nilai kebenaran dan berlandaskan kepada iman. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah akan diikuti dengan prinsip tawakkal kepada Allah SWT dengan harapan keputusan tersebut mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negaranya. Firman Allah: …dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. Ali Imran: 159).
Karena esensi demokrasi memiliki persamaan dengan musyawarah, maka umat Islam pun banyak yang dapat menerima konsep demokrasi. Hanya saja demokrasi tersebut tetap berlandaskan kepada nilai-nilai kebenaran. Demokrasi yang diterima umat Islam bukanlah bebas berbuat tanpa nilai. Demokrasi bukan bersikap apriori terhadap kejahatan yang terjadi di sekelilingnya. Demokrasi juga bukan bersikap semena-mena terhadap orang yang melakukan kesalahan. Demokrasi tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, perdamaian, dan kebaikan. Tegasnya, demokrasi yang dapat diterima tidak dipertentangkan dengan prinsip-prinsip kebenaran yang lain. Dengan demikian, sikap demokratis yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan adalah suatu kekeliruan.
Pendidikan Islam sebagai pendidikan yang normatif dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai demokrasi.

2. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI
Hal yang paling penting ketika kita membahas demokrasi adalah prinsip-prinsipnya, karena prinsip merupakan inti dan pilar dari demokrasi. Hal ini penting ketika kita akan menghadapkan demokrasi di satu sisi dengan sistem politik Islam di sisi lain.
1. Kedaulatan dan Kekuasaan Tertinggi Ada Pada Rakyat
Asas penting dari demokrasi adalah gagasan yang mengasumsikan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Gagasan atau konsep yang berdasar bahwa kekuasaan itu berasal dari, oleh, bersama dan untuk rakyat. Sebagaimana negarawan Amerika Serikat Abraham Lincoln katakan: Government of the people, by the people, dan for the people.
Kekuasaan dalam terminologi ilmu politik adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu. (Budiarjo, 2003:35) . Sedangkan kedaulatan adalah kepemilikan atas kekuasaan. Dalam negara demokrasi, kedaulatan Tuhan itu terwujud dalam paham kedaulatan rakyat yang bersifat egaliter itu, sehingga demokrasi dipandang sebagai mekanisme kenegaraan yang niscaya dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai ketuhanan itu. (Jimly asshiddiqie, tt:243) . Inilah yang dikenal sebagai Vox Populi Vox Dei, suara Tuhan suara rakyat. Jadi dalam negara negara demokrasi Tuhan bukannya dianggap tidak ada, namun kedaulatan dan kekuasaannya telah diserahkan kepada rakyat sepenuhnya.
Prinsip utama demokrasi adalah demos yang berarti persamaan. Persamaan yang dimaksud adalah, bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama (hak dipilih-memilih dan mendapat privilege) dalam berpartisipasi dipemerintahan. Sementara yang dimaksud kratos yaitu semua keputusan dibuat secara bersama (collectively). Rakyat secara langsung atau tidak (perwakilan) ikut menentukan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan, atau yang dikenal dengan “pemerintahan rakyat” (people’s rule). Di alam demokrasi kedaulatan dan keputusan apapun sepenuhnya berada di tangan rakyat bukan di tangan pemimpin.
Pandangan tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam wacana demokrasipun memang berkembang, ketika ada gagasan bahwa sebetulnya hukumlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Karena itu kekuasaan tertinggi ada pada hukum bukan pada rakyat, yaitu yang disebut dengan istilah nomokrasi (nomos : nilai). Namun demikian, hal ini sesungguhnya tidak menafikkan prinsip demokrasi, sebab hukum-hukum itu sendiri harus ditentukan dan disepakati rakyat. Karena itu muncullah istilah demokrasi berdasarkan hukum (institutional democracy), yang mengandung empat prinsip pokok (Jimly Asshiddiqie, tt:241):
• Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama
• Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dan pluralitas
• Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama
• Mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme yang disepakati bersama

Ide kedaulatan rakyat, secara praktikal menuntut adanya keterwakilan sebesar mungkin partispasi masyarakat. Namun tentu hal ini tidak selalu ideal karena majemuknya rakyat. Karena itu mekanisme-mekanisme tertentu digunakan sebagai perangkat untuk membuat sebesar mungkin partisipasi, sehingga suara rakyat sebesar mungkin bisa diakomodasi. Karena itu dikenalah mekanisme pemungutan suara langsung, pemungutan suara terwakilkan, dan musyawarah. Jadi musyawarah bukanlah inti dari demokrasi, ia hanyalah salah satu mekanisme untuk ”mendengar” suara masyarakat.
2. Persamaan (Equality)
Persamaan yang sering disebut sebagai inti demokrasi modern yang dianut saat ini adalah persamaan tanpa batas, melintasi agama, suku, keturunan, gender dalam segala aspek kehidupan, sebab kratos atau people di sini tidak memandang perbedaan-perbedaan agama, suku, keturunan, gender, dan sebagainya. Namun demikian, pembatasan persamaan juga sangat mungkin dilakukan jika hukum yang disepakati menentukan demikian. Jadi ide persamaan sangat dipengaruhi oleh apa yang rakyat maksud inginkan dari persamaan tersebut.
3. Kebebasan (liberty)
Pondasi lain dari demokrasi adalah kebebasan. Kebebasan di sini adalah ketiadaan paksaan pada rakyat untuk menentukan apa yang ingin disepakatinya dan apa yang ingin dijadikannya sebagai hukum. Thomas Jefferson sebagai pemain utama revolusi Amerika menuliskan dalam Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence), dalam paragraf yang dikutip darinya pada permulaan bagian ke-2 Jefferson menunjukkan keseluruh filosofi pemerintahan demokratis yang diinginkan Amerika. Jauh dari negeri asal mereka, koloni-koloni tersebut telah terbiasa dengan sesuatu yang baru yang relatif bebas di sebuah daratan yang berbukit. Banyak dari mereka berada di sana untuk bebas dari tekanan politik maupun agama. Hal ini kembali menegaskan bahwa demokrasi adalah anti-tesis terhadap kungkungan teologis dan kekuasaan otoriter.
Satu-satunya yang bisa membatasi kebebasan dalam demokrasi adalah hukum-hukum yang disepakati oleh masyarakat itu sendiri, bukan nilai, hukum, atau norma yang bukan dari kesepakatan rakyat, apalagi agama.
4. Keadilan (Justice)
Pondasi keempat dari demokrasi adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah perlakukan hukum yang sama terhadap setiap warga negara berdasarkan kepada hukum yang disepakati, tanpa membedakan suku, agama, dan ras serta perbedaan lainnya. Konsep-konsep keadilan juga sangat ditentukan oleh apa yang rakyat sepakati tentang keadilan.
Sebagaimana persamaan dan kebebasan, tafsir atas keadilan dan batas-batasnya sangat ditentukan oleh alam pikiran rakyat yang termaktub dalam hukum yang mereka buat.
3. Hubungan Islam dan Demokrasi
Sikap umat Islam terhadap demokrasi, kiranya dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu:
Kelompok Pertama, umat Islam yang menerima demokrasi. Sebagian dari kalangan cendekiawan Islam dan para politisi Muslim ini berpendapat bahwa Islam sejalan dengan demokrasi, pendapat-pendapat ini memang sangat beragam pada titik tekan, bobot penerimaan, cara pandang, dan filosofinya, kadang dalam beberapa hal diantara mereka sendiri berbeda pandangan. Namun demikian, berbagai pendapat ini pada dasarnya menunujukan sebuah penerimaan terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Penerimaan ini dikarenakan (apa yang dianggap) prinsip-prinsip demokrasi sesungguhnya juga terkandung dalam ajaran Islam, seperti keadilan (‘adl), persamaan (musawah), musyawarah (syura), dan sebagaianya. Ulama terkemuka seperti sayyid sabiq mengatakan karena asas musyawarah adalah bagian dari Islam, maka Islam sesuai dengan jiwa demokrasi (Sabiq,1980).
Syaikh DR. Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat bahwa substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam seraya mengutip hadits dan bahkan mengatakan demokrasi bagian dari Islam. Beliau mengutip sebuah hadits :
“Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka skalipun hanya sejengkal....” lalu beliau menyebutkan yang pertama diantaranya, “Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya” (Ibnu Majjah)

Dengan menganalogikan hadits ini pada substansi demokrasi, DR. Yusuf Qaradhawy menyimpulkan bahwa substansi demokrasi adalah dari Islam (Qaradhawy, 1997). Meskipun demikian asy-syaikh mengakui kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem demokrasi selain kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Dengan menggunakan kaidah ushul fiqih “apabila yang wajib tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib”, asy-syaikh berpendapat bahwa ummat Islam perlu mengambil manfaat dari demokrasi.
Pemikir besar Muslim lain yang menerima konsep demokrasi adalah Prof. Fazlur Rahman. Beliau mengatakan bahwa Syura’ adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam yang kemudian didukung oleh al-Qur’an melalui surat 43:38 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”

Nabi sendiri, lanjut Rahman diperintahkan untuk berkonsultasi pada pemuka-pemuka masyarakat sebelum mengambil keputusan (QS 3:159) :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Setelah Nabi SAW wafat, al-Quran nampaknya menghendaki al-Qur’an menghendaki kepemimpinan kolektif QS 42:38
Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

Menurut Rahman, al-Quran hanya dapat mentolerir kepemimpinan tunggal sementara waktu menunggu kedewasaan dari masyarakat, sebab bagaimana mungkin masyarakat yang belum dewasa dapat menghasilkan pemimpin yang matang. (Rahman, 1983).
Tokoh NU terkemuka seperti Abdurrahman Wahid lebih jauh bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai Islam yang sesuai harus menjadi motor penggerak demokrasi, sedangkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai (Islam) haruslah dibuang.
“...Dan nilai-nilai Islam yang sangat demokratis, harus menjadi motor bagi upaya demokratisasi Indonesia. Sedangkan nilai-nilai yang tidak emansipatif, seperti wanita lebih rendah kedudukan hukumnya daripada pria, haruslah diganti” (Wahid, 2004)

Selanjutnya Abdurahman Wahid menegaskan bahwa demokrasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi bukan saja demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal tidak Ekspoloitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Dalam demokrasi, pluralisme tidak semata-mata sebagai suatu yang human, tetapi juga karunia Allah yang bersifat permanen (Sunnatullah) karena tanpa pluralisme sejarah dan peradaban manusia akan tidak produktif, bahkan kehilangan perspektifnya yang bersifat dinamis dan dialektis. Abdurahman Wahid mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam dan implementasi islam sebagai etika sosial dalam kehidupan Negara pluralistik mengandung implikasi bahwa dalam konteks Demokrasi Islam “tidak” di tempatkan sebagai ideology alternatif seperti memposisikan “Syari’ah” dalam posisi berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi islam terhadap demokrasi bisa di capai bila dari ajaran islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah (Syura” kebebasan dan rule of law, karena islam dalam satu aspeknya merupakan agama hukum)
Amien Rais dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an (Ali Imran 3:159 dan As-Syura 42:38) tentang Musyawarah atau Syura, Amien Rais dengan tegas menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan prinsip dasar penolakan terhadap Elitisme. Menurut Amin, mungkin benar mereka yang mengatakan bahwa musyawarah atau syura dapat di sebut demokrasi, tetapi Amin Secara sengaja berusaha mengelak untuk tidak menggunakan istilah demokrasi dalam konteks sistem politik Islam. Karena menurutnya, istilah demokrasi saat ini menjadi konsep yang di salah pahami, dalam pengertian bahwa beberapa negara, yang banyak atau sedikit anti-demokrasi, dapat menyebut sistem mereka demokratis. Tetapi hanya mengemukakan bahwa istilah demokrasi dewasa ini telah di salah pahami sesuai dengan kepentingan politik rezim tertentu. Amin mengemukakan tiga alasan dalam penerimaannya terhadap demokrasi :
1. Secara konsep dasar, al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka.
2. Secara historis, Nabi mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat.
3. Secara Rasional, umat islam di perintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka,
Itu menunjukkan bahwa sistem politik yang demokratis adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik dalam sejarah umat manusia Sebagai realisasinya, kemudian di buat lembaga perwakilan rakyat ( Parlemen) yang anggota-anggotanya dipilih oleh semua warga Negara Secara bebas, langsung, jujur dan adil. Institusi perwakilan rakyat inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan politik yang disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat pada kurun waktu terbatas dan tertentu.
Nurcholis Madjid Nurcholis Madjid mengemukakan pandangannya bahwa nilai-nilai islam dan nilali-nilai demokrasi adalah bertentangan dari sumber (Ajaran v.s Paham Barat) tetapi ia melihat kesesuaian antara islam (musyawarah) dan demokrasi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan praktis, manusia di beri kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme sosial politik, ijtihad menghasilkan demokrasi yang tentu saja dirangkum dari diskusi-diskusi dan argument-argumen. Karena keterbatasan-keterbatasan manusia, ijtihad harus dilakukan Secara kolektif dan demokratis, khususnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut urusan publik, dan memohon kepada Tuhan untuk membimbing hamba-Nya “kejalan yang lurus” Maka menurut pemikiran Tokoh-tokoh ini mereka menerima dan bahkan mendukung demokrasi dalam pengertian tataran realisme politik, karena penerimaan mereka semata-mata dalam pengertian praktis kontemporer. Namun dalam pengertian filosofis, mereka masih mengakui supremasi perintah Tuhan (syari’ah) sebagai standar dasar yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
Beberapa pandangan dari kalangan luar Islam yang berpendapat serupa misalnya diungkap salam sebuah seminar "Islam and Democracy" di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, mantan duta besar Inggris untuk Indonesia Mike O’Brien mengatakan :
"Beberapa kalangan di Barat mengatakan, Islam dan demokrasi tidak sejalan, dan bahwa Islam menghasilkan sikap patuh yang bertentangan dengan sifat politik demokrasi yang pada hakikatnya bersifat kontradiktif. Ini tidak benar," tradisi demokrasi ada dalam pemikiran Islam. Dalam arti, Nabi Muhammad menjalankan komunitas Islam, mula-mula sesuai dengan "shura" atau konsultasi. Dan konsep konsultasi tetap ada sampai sekarang di berbagai tingkat dalam komunitas Muslim”

Sesungguhnya jika kita analisis lebih jauh maka kelompok pertama ini bisa dibagi dalam dua sub-kelompok lagi. Sub-kelompok pertama adalah mereka yang mengetahui demokrasi memiliki problem dilihat dari ideologi Islam, dan sub kelompok yang kedua adalah mereka selangkah lebih jauh, dengan berprinsip bahwa demokrasi merupakan sebuah keniscayaan dan harus diterima penuh, adapun beberapa aspek keagamaan yang dianggap tidak disesuai harus diinterpretasi ulang, disesuaikan atau dibuang. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa pandangan politik seperti syaikh DR. Yusuf Qaradhawy sama persis dengan sikap politik sejenis Abdurrahman Wahid atau dengan yang lainnya. Kesamaannya terletak pada penerimaannya terhadap demokrasi, sedangkan perbedaannya ada pada cara pandang terhadap penerimaan tersebut.
Kelompok kedua, adalah ummat Islam yang memandang demokrasi sebagai sistem yang problematik dan karena itu ia tidak lekas menerimanya. Sebagaimana kelompok pertama, mereka berbeda dalam titik tekan, bobot penolakan, dan cara pandang yang menyebabkan mereka menganggap demokrasi problematik.
Syaikh Hassan al-Banna memang tidak mengatakan bahwa Ikhwan al-Muslimun (IM) menerima atau menolak demokrasi, namun dalam Risalah Pergerakannya, ia memiliki pandangan pribadi terhadap kepartaian (bukan politik) yang meragukan kemampuannya untuk mengatasi kemerosotan ummat terutama di negara-negara berkembang seperti Mesir
“Tuan-tuan, saya berkeyakinan bahwa partai politik, jika pun sesuai untuk sebagian kondisi dan sebagian negara, maka belum tentu sesuai untuk keseluruhannya. Dan partai politik selamanya tidak sesuai untuk negara Mesir, khususnya pada dekade ini...” (al-Banna, 1998)
Hasan Al-Banna memang tidak menolak demokrasi dan sistem kepartaian secara nyata, namun beliau meyakini bahwa perjuangan menegakkan kembali ummat Islam hanyalah bisa dicapai melalui pembinaan, mental, akhlaq, jiwa, pemikiran, pendidikan dan fisik.
Muhammad Natsir, salah seorang tokoh, pemikir, salah seorang ’ulama Islam Indonesia yang sempat terjun juga dalam dunia politik mendukung demokrasi walaupun dia mempunyai penafsiran berbeda tentang demokrasi. Menurutnya, Islam adalah system demokrasi, dalam pengertian bahwa Islam itu menolak istibdad (despotisme), absolutisme dan otoritarianisme. Akan tetapi ini, tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan melalui Majelis Syura (Dewan Permusyawaratan). Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakah pembasmian minuman arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan parlemen untuk penghapusan judi dan kecabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semua bukan hak musyawarat Parlemen.
Kita akui demokrasi baik! Akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. Perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi ia tidak pula sunyi dari pelbagai sifat-sifat berbahaya. Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip tersendiri, yang mempunyai sifat-sifat tersendiri pula. Islam tidak usah demokrasi 100% , bukan pula otokrasi 100%, Islam itu....yah , ”Islam”. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi. Meskipun Natsir dikenal sebagai democrat sejati dan pendukung demokrasi, tetapi dia tetap mendukung kedaulatan Tuhan.
DR. Imaduddin Abdurrahim, salah satu tokoh perintis pergeakan Islam kampus menuliskan dalam bukunya ”Islam Sistem Nilai Terpadu” [9]: ”Para ’ulamaa kita ketika itu dengan sengaja tidak menggunakan istilah ”kedaulatan rakyat”, yang biasanya dipakai sebagai terjemahan dari kata ”demokrasi”, yang berasal dari falsafah barat. Demokrasi ini berasal dari kata ”demos” dan ”cratus”, yang berarti rakyat punya kedaulatan membuat dan menciptakan hukum. Di dalam ajaran Islam, kita meyakini bahwa hanya Allah yang berdaulat menciptakan hukum Manusia hanya boleh membuat derivasi hukum menjadi peraturan pelaksana dari sunnah Allah SWT...”
”Kebanyakan negara berpenduduk mayoritas muslim sekarang ini telah merubah landasan dan falsafah hidup mereka menjadi nasionaisme, sosialisme, feodalisme, dengan sistem authoritarisme bahkan sekularisme dan isme-isme lain yang asing bagi ajaran Islam yang asli...” Pemikir Islam muda Adian Husaini M.A. memberikan catatan penting dalam bukunya “Wajah Peradaban Barat”[4]: “bahwa di samping memberikan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif, namun demokrasi (liberal) di barat pun mendapat kritikan tajam. Demokrasi (liberal) bukan hanya memiliki nilai positif, namun juga menyimpan kelemahan internal dan fundamental. Dalam demokrasi seorang pintar disamakan hakya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan pemabuk dan pezina. Seorang yang taat beragama disamakan haknya dengan seorang preman, pengangguran atau oportunis (Husaini, 2005).”
Dalam CAP Adian Husaini, MA ke-33, Adian Husaini melanjutkan meskipun partai Islam seperti Masyumi mengikuti pemilu demokratis tahun 1955, namun apa yang disebut demkrasi oleh masyumi sama sekali berbeda dengan apa yang dimaksud demokrasi saat ini. Menurut masyumi demokrasi ada di bawah ketentuan syariat. “Ambillah contoh, Partai Masyumi. Partai ini jelas terlibat dalam proses demokrasi (pemilu) yang sering dipuji sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Masyumi juga mendukung demokrasi. Tetapi, “demokrasi” oleh Masyumi sudah dicoba untuk “diislamkan”. Demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan yang tidak fasis dan otoriter. Hal itu bisa dilihat dalam rumusan Rancangan UUD Republik (Islam) Indonesia usulan Masyumi, yang menyatakan, bahwa “kedaulatan adalah di tangan seluruh rakyat Indonesia sebagai amanah Tuhan kepada mereka.” Naskah itu juga menegaskan, syariah sebagai “sumber hukum” tertinggi dalam negara. Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan dengan berpedoman kepada norma-norma syariah dan tidak melampaui batas yang ditetapkan oleh Tuhan.
Konsep Masyumi tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat itu mirip dengan konsep “theo-demokrasi” yang dirumuskan oleh Abul A’la al-Maududi, pemikir besar Pakistan dan pendiri Partai Jamaat Islami. Apakah konsep demokrasi dan kedaulatan rakyat Masyumi itu tidak demokratis? Bagaimana dengan konsep masyarakat komunis yang diperjuangkan oleh PKI ketika itu? Apakah konsep komunis itu tidak demokratis? Lalu, bagaimana dengan konsep nasionalis-sekuler yang diperjuangkan oleh PNI? Apakah konsep masyarakat sekuler versi PNI itu demokratis? Konsep Masyumi sangatlah masuk akal. Rakyat memang berdaulat, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh Tuhan. Oleh syariat. Artinya, jika rakyat bersepakat untuk menghalalkan pelacuran, perjudian, korupsi, dan sebagainya, maka hal itu tidak dapat dibenarkan. ”
DR. Anis Malik Toha dalam disertasinya membuktikan bahwa pada hakikatnya pluralisme adalah sebuah agama yang menentang keberadaan agama-agama. Beliau menganalisis bahwa demokrasi adalah perwujudan liberalisme dalam ranah politik. Karena menurutnya liberalisme terbukti memiliki karakter totaliter (totallity)[5], maka demokrasi alih-alih memproyeksikan diri sebagai wasit yang netral diantara kelompok agama-agama yang sedang bertikai dan saling berebut klaim kemutlakan, dia sendiri malah berubah peran menjadi salah satu kelompok tersebut.[6]
Senada dengan itu banyak ahli politik berpendapat serupa, misalnya pengamat politik Islam dan Peneliti Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) DR. Bachtiar Effendy menekankan bahwa penerimaan demokrasi di dunia Islam Indonesia khususnya haruslah disertai pribumisasi, beliau juga mengkritik cendekiawan Muslim yang melakukukan demokratisasi Islam yang terkesan dipaksakan. Dalam sebuah diskusi bertema “Dinamika Wacana Politik Islam di Tengah Isu Politik Modern”
Bahtiar Effendy menyatakan :“…Jangan terburu-buru mengatakan cocok dengan Islam, dan mengapa Islam yang dicocokkan, bukan yang lain yang dicocokkan dengan Islam? Ini sumber masalah, karena menempatkan diri pada posisi subordinat dengan Barat dan modernitas, menyama-nyamakan Islam dengan isu-isu baru, demokrasi dan civil society atau mengislamkannya. Maka pertanyaannya, dimana kesadaran teologis anda? Padahal anda terlanjur mengatakan Islam adalah ya’lu wala yu’la ‘alaih -shalih li kulli makan wa zaman. Sekarang yang shalih li kulli makan wa zaman menurut orang-orang adalah demokrasi, kapitalisme, market, globalisasi. Anda kalah digilas! Ini seperti di Indonesia, dimana proyek privatisasi yang murah dibeli oleh orang-orang kaya. Ini adalah kenyataannya!”
Demikian juga DR. Mahathir Muhammad yang menyarankan agar dunia Islam tidak perlu tergesa-gesa menerima demokrasi, ``Malah raja dan diktator yang baik, amanah kepada tugasnya dan mematuhi ajaran agama (Islam) boleh membawa pemerintahan yang lebih baik daripada Presiden dipilih yang melakukan apa sahaja untuk mengekalkan popularitinya.``Di bawah pemimpin yang jujur, sama ada raja atau Perdana Menteri atau Presiden, dibantu oleh para penasihat dan pakar, sebuah negara boleh membangun ke peringkat maju,'' (Utusan)
Kelompok ketiga, adalah ummat Islam yang telah memosisikan diri secara jelas menolak demokrasi. Meski bisa dikatakan sama dalam hal memandang demokrasi, namun kelompok-kelompok ini mungkin berlainan dalam aspek-aspek lain di dalam Islam. Mengomentari pendapat syaikh DR. Yusuf al-Qaradhawy yang mengatakan substansi demokrasi berasal dari Islam, Ustadz Jamal Sulthan mengatakan bahwa: “yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwa DR. Qaradhawy salah secara keseluruhan adalah, Dr. Yusuf al-Qaradhawi menganggap bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka... dan seterusnya. (Memang) Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Namun, demokrasi secara substansial adalah penolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan sejarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan agama.”
Ustadz Jamal Sulthan melanjutkan bantahannya dengan mengatakan bahwa :
Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan: "Sesungguhnya demokrasi itu dari Islam," maka dibenarkan pula untuk mengatakan: "Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!". Sedangkan kita akan mengatakan: "Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan (budaya) Barat, hal itu tidak memberikan manfaat bagi kita sebagai kaum muslimin.
Salah seorang pengikut Hassan al-Banna, Sayyid Quthb bahkan lebih jelas menentang ide-ide demokrasi. Terminologi jahiliyyah menurut beliau bukan hanya berlaku untuk Arab pra-Muhammad SAW, namun berlaku untuk setiap kondisi di mana kedaulatan Allah diabaikan, dan nasionalisme, komunisme serta demokrasi adalah manifetasi dari jahiliyyah pada abad-abad ini, sebab ketiganya merampas kedaulatan Tuhan.
Pergerakan Hizb ut-Tahrir (HT) adalah salah satu yang sangat menentang ide-ide demokrasi dan bependapat bahwa sebahagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar’i. Hizb ut Tahrir memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melangar azas wakalah (perwakilian), sebab salah satu syarat wakalah terlanggar yakni materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi, yang menurut pandangan HT adalah bathil. (tentang kebathilan demokrasi ini dapat di baca dalam buku “Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis”)
Nukilan berbagai pendapat di atas dimaksudkan untuk melihat bagaimana para cendekiawan, ulamaa, dan politisi berbeda pendapat dalam spektrum yang sangat luas tentang demokrasi. Jumlah pemikir yang dinukil tidak serta-merta menunjukkan kebenaran dari pandangan mereka tentang islam terhadap demokrasi. Penyertaan pandangan mereka dalam hal ini hanyalah dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan pandangan diantara pemikir muslim saat ini.

Kesimpulan
Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang sangat dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak menyangkut hal-hal yang substansial dalam aqidah. Jika menyangkut hal yang sudah qath’i (pasti), ummat Islam harus sudah bersepakat untuk hal itu. Misalnya soal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai hukum yang sudah jelas dan terperinci yang sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di sini ummat Islam tidak diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur kehidupannya berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, kemaslahatan kehidupan sudah pasti akan selaras dan sejalan dengan tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik untuk memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.
Tidak mudah menyimpulkan relasi Islam dengan demokrasi. Penyebab dari kesulitan ini, yang akhirnya menimbulkan perbedaan kesimpulan
Pertama, terjadi kekacauan terminologi yang diakibatkan oleh pemahaman yang salah terhadap terminologi dan kata kunci-kata kunci. Misalnya berkaitan dengan terminologi demokrasi, pluralisme, nasionalisme, musyawarah, syura, kedaulatan, kekuasaan, dan lain-lain. Kedua, kesalahan dalam memahami karakteristik demokrasi, yang menimbulkan kesalahan dalam menentukan apa yang disebut prinsip dan apa yang tidak. Misalnya apakah musyawarah itu hakikat demokrasi atau bukan? Apakah partispasi rakyat dalam demokrasi sama dengan partisipasi ummat dalam sistem politik Islam? Dan apakah partisipasi egaliter itu prinsip demokrasi atau bukan? Ketiga, kekacauan dalam memahami Islam sebagai sebuah pandangan hidup saat memandang konsep demokrasi.
Perlu ditegaskan dalam hal ini, bahwa tulisan ini tidak hanya dimaksudkan untuk memahami relasi demokrasi dengan islam secara ilmiah, namun juga berusaha menghilangkan beberapa ketidaksesuaian demokrasi dari sudut pandang worldview Islam, seringkali langkah ini disebut islamisasi. Dan lebih jauh dari itu menganalisis strategi politik Islam dalam dunia yang dikuasai oleh sestem demokrasi tersebut. Untuk tujuan ini diperlukan setidaknya empat usaha :
pertama, memahami kelahiran demokrasi sendiri sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu hingga saat ini. Hal ini selain akan memahami bagaimana demokrasi berevolusi, juga akan membantu kita memahami demokrasi sebagai sebuah dialektika, ideologi, jalan hidup dan bukan hanya memahami demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan sebuah mekanisme praktis pemilihan wakil rakyat saja.
kedua, memahami Islam sebagai sebuah ideologi yang meski sebagian orang tidak setuju dengan Islam sebagai sistem politik, namun pada kenyataannya ajaran Islam menyentuh aspek-aspek politik. Dalam hal ini sangat penting memahami perjalanan Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem politik yang dibawa Nabi Muhammad SAW hingga terbentuknya negara Madinah dan perjalanan ummat Islam dari Khulafa ur Rasyidiin hingga kejatuhan Utsmaniyyah di Turki pada 3 Maret 1924 dengan dilucutinya Abdul Hamid II dari kekhalifahan Utsmani. Pemahaman terhadap asas-asas dan karakteristik Islam terutama menyangkut fiqih siyasah dan perilaku hukum Islam ketika berhadapan dengan hal-hal baru. Termasuk pula di dalamnya pandangan dan pendapat para ulama terhadap masalah politik, kenegaraan dan demokrasi itu sendiri.
Ketiga, adalah langkah memandang demokrasi dari paradigma sistem politik Islam. Menganalisis terminologi-terminologi kunci dari demokrasi dan kesesuaiannya dengan terminologi politik dalam Islam. Kemudian melakukan islamisisasi demokrasi, di mana aspek-aspek demokrasi yang tidak sesuai dengan pandangan hidup islam harus dibuang, dan sisanya diadopsi. Jika aspek-aspek demokrasi yang ditolak merupakan prinsip-prinsip paling utama, maka akan kita katakan bahwa demokrasi sama sekali tidak Islami, atau tidak ada demokrasi islami. Sebaliknya, jika perbedaan islam dan demokrasi hanya dalam wilayah teknik, atau beberapa pilar yang tidak hakiki, maka kita masih mungkin memberi sifat islam pada demokrasi, atau kita sebut „demokrasi islam“.
Keempat, adalah karena pada kenyataannya demokrasi menjadi sebuah pilihan terbaik dibanding otoritarianisme, maka kita perlu menganalisis: jika seandainya demokrasi tidak sesuai dengan Islam, lalu apakah mungkin sistem politik demokrasi digunakan sebagai jalan keluar darurat“ yang bisa dipakai untuk mengembalikan sistem politik Islam atau tidak. Jika memang mungkin apakah boleh menurut syariat Islam. Tentu masalah boleh dan tidak kita harus merujuk pada pendapat para 'ulamaa
DAFTAR PUSTAKA
Abdul AziS Thaba, 1997. Islam dan Negara dalam politik Orde Baru, Jakarta. Gema Insani Press
Abdurahman Wahid. dan Amien Rais. 1996. Islam Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Anis Mata, tt. Menikmati Alam Demokrasi, Insan Media Publishing House, hal 21.
Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik, , Gramedia
Jimly Asshiddiqie, tt. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, , KonPress
http://ishacovic.multiply.com/journal/item/118 (didownload 10 maret 2009).
Muhammad Natsir, 1973, Islam dan Demokrasi. Jakarta : bulan bintang
----------------------, 1957. Islam sebagai Landasan Negara, Bandung
Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitutusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Liberty
Riswanda Imawan, 1997. Membelah Politik Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.
William Ebestein, 1988. “Democracy”, New York. Macmillan Educational Company.

Ridhonya Alloh ada Dalam Ridhonya Orangtua

Ridho Allah ada Dalam Ridhonya Orangtua
(Kajian Hadis dari Aspek Kesahihan Sanad dan Matan serta Statusnya)
Oleh: Muhammad Yusri


1. PENDAHULUAN

Dalam struktur hierarki sumber hukum Islam, hadis bagi umat Islam menempati urutan ke dua setelah al-Qur`an, karena fungsinya sebagai penjelas bagi ungkapan-ungkapan al-Qur`an yang mujmal, muthlaq, ‘am dan sebagainya (Abbas, 2004 : 1 )
Tujuan utama kajian atau penelitian hadis, baik dari segi sanad (jalur) maupun dari segi matan (teks), adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang dianalisis, apakah sahih atau dhaif, diterima atau ditolak. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dan dilakukan demi memelihara kesucian ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah, ibadah dan muamalahnya. Hadis yang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat tidak dapat dipertahankan dan dipertanggungjawabkan untuk dijadikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Ulama hadis terdahulu sesungguhnya telah melakukan berbagai usaha penelitian terhadap hadis-hadis yang diragukan kesahihannya dan yang dianggap perlu oleh mereka. Mereka menghimpun hadis-hadis, menyusun dan menetapkan mana yang sahih dan mana yang dhaif. Para ulama juga telah menguraikan nama-nama periwayat hadis secara terperinci baik yang siqah (terpercaya) ataupun yang lemah. Semua kerja yang telah dilakukan mereka itu bukanlah suatu yang mudah. Walaupun demikian, masih ada suara-suara yang mengajak supaya diteliti ulang terhadap hadis-hadis yang telah pernah dinilai oleh ulama-ulama terdahulu. Tentunya berdasarkan pada niat dan motivasi yang positif dan tujuan yang bersih dari prasangka terhadap hasil penelitian mereka. Namun tidak dinafikan ada juga di antara suara tersebut yang mempunyai niat sebaliknya. Keberadaan hadis sebagai sumber hukum islam sangat unik dan urgen tidak seperti al-Qur`an yang Qoht`i, hadis dengan berbagai dimensi selalu menjadi fokus kajian yang problematik dan menarik bagi pendukung maupun penentangnya ( Mustaqim, 2002 : 55-56 ). Bagaimanapun, untuk masa kini penelitian ulang perlu lebih serius lagi, bukan terhadap hadis-hadis yang telah tersusun rapi dalam kitab-kitab musnad tetapi yang banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat awam baik melalui bibir-bibir mubaligh yang kurang teliti atau melalui penulisan-penulisan dalam masalah agama. Mereka sering membawa hadis-hadis populer dan mempopulerkan tanpa terlebih dahulu mengkaji ulang kesahihan hadis tersebut yang ternyata setelah diteliti bukan hadis shahih atau bermasalah. Di sinilah peranan Ilmu Takhrij Hadis (Ilmu Kajian Hadis) dirasakan begitu penting.
Ulama hadis telah menyimpulkan beberapa metode mencari hadis antara lain menurut Abu Muhammad terdiri dari 5 cara yaitu:
a. dengan menggunakan lafaz pertama hadis.
b. dengan menggunakan salah-satu lafaz yang terdapat dalam hadis.
c. dengan menggunakan periwayat terakhir (sahabat).
d. dengan menggunakan tema (topik) hadis.
e. dengan melihat jenis hadis.( Abu Muhammad Abd al-Muhdi, tt : 24 )
Demikianlah metode-metode hadis yang dapat digunakan untuk mencari atau mentakhrijkan hadis. Penulis dalam makalah ini akan mentakhrij hadis tentang ridho Allah sama halnya ridho orang tuanya. Namun status hadisnya masih perlu dikaji, karena penulis memandang tema ini menyentuh masalah ketaatan seorang anak kepada Allah dan orang tua. Hadis yang hendak penulis kaji itu adalah seperti berikut:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
Maksud Hadis
Ridho Allah ada dalam ridho orang tua, seadangkan murka Allah ada dalam murka orang tua.

Untuk mentakhrij hadis ini penulis menggunakan metode yang kedua yaitu dengan menggunakan salah-satu lafaz hadis. Sebagai langkah pertama, setelah mengemukakan hadis yang hendak dicari dan hendak diketahui statusnya, penulis berusaha mempertemukannya dengan sumber asalnya atau mukharrijnya (seperti Bukhari, Muslim, Ahmad dll.) bersama-sama jalur atau sanadnya secara lengkap. Kemudian, langkah selanjutnya barulah dibuat analisis untuk setiap periwayat dalam sanad hadisnya sebelum penulis menentukan status hadis yang dikaji. Berikut adalah hasil kajian yang penulis lakukan terhadap hadis yang menjadi tema atau topik dalam penulisan ini.
2. PEMBAHASAN TENTANG SANAD HADIS
Setelah menelusuri dan meneliti lokasinya dalam kitab-kitab hadis dan musnad, hadis di atas berasal dari dua mukharrij yaitu ulama penghimpun hadis, Imam at-Turmudzi dan Ibnu Bathoh. Sanad atau jalur periwayat teks hadisnya secara lengkap penulis turunkan seperti di bawah ini:
a. Hadis yang Diriwayatkan oleh at-Turmudzi ( Hadis No. 1821 )

حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو نَحْوَهُ وَلَمْ يَرْفَعْهُ وَهَذَا أَصَحُّ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَكَذَا رَوَى أَصْحَابُ شُعْبَةَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو مَوْقُوفًا وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا رَفَعَهُ غَيْرَ خَالِدِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ شُعْبَةَ وَخَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ ثِقَةٌ مَأْمُونٌ قَالَ سَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ الْمُثَنَّى يَقُولُ مَا رَأَيْتُ بِالْبَصْرَةِ مِثْلَ خَالِدِ بْنِ الْحَارِثِ وَلَا بِالْكُوفَةِ مِثْلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِدْرِيسَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُود

b. Hadis Riwayat Ibnu Bathoh ( Hadis No. 2517 )

حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد القافلائي قال : ثنا عبد الملك بن محمد الرقاشي ، قال : ثنا أبو عتاب الدلال ، قال : ثنا شعبة ، عن يعلى بن عطاء ، عن أبيه ، عن عبد الله بن عمرو ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه : « رضا الرب في رضا الوالد ، وسخط الرب في سخط الوالد »

Untuk mengetahui status sahih tidaknya kedua riwayat hadis tersebut di atas perlu diadakan kajian hadis baik tentang sanad maupun matannya. Dengan menggunakan metode Takhrij hadis yang ada, penulis telah menemukan hadis yang ingin dibahas itu melalui kitab Al-Maktab al-syamilah. Ternyata hadis tersebut telah diriwayatkan oleh dua mukharrij atau sumber yaitu at-Turmudzi dan Ibnu Bathoh.

3. TAKHRIJ HADIS
Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, hadis di atas mempunyai dua mukharrijnya, dan setelah dirujuk pada kitab hadis masing-masing, ditemukan bahwa riwayat dari at-Turmudzi lokasinya berada di juz 7, kitab Sunan Turmudzi, bab Maja`a Min Al-Fadli Fi Ridlo Al-Walidai, hadis no. 1821, halaman 122 dan mempunyai satu jalur sanad saja. Adapun riwayat dari Li Ibnu Bathoh terdapat di juz ke 6, kitab al-Ibanatu Al Kubro li Ibnu Bathoh, bab Dikr Munadharat Al-Muntakhinina Baina `Aidzil Muluk Al-Jabarin Aladzina Da’au Annas ila hadihi Dholalah, hadis no. 2517, halaman 135, dan mempunyai satu jalur sanad.

• Takhrij Hadis Melalui at-Turmudzi
Hadis ini mempunyai satu jalur sanad dengan urutan periwayat seperti berikut: (i) Abu Hafsin ‘Umar ibn ‘Ali (dengan lafaz hadasana), (ii) Khalid ibn al-Harits (haddasana), (iii) Syu’bah (haddasana), (iv) Ya’la ibn ‘Atho` (dengan lafaz‘an), (v) Abihi/’Atho` (‘an), (vi) ‘Abdullah ibn ‘Amr (dengan lafaz ‘an), (vii) Rasulullah Saw.

• Takhrij Hadis Melalui Ibnu Bathoh
Hadis ini mempunyai satu jalur sanad dengan urutan periwayat seperti berikut: (i) Abu Fadli Ja’far ibn Muhammad al-Qofalai (dengan lafaz haddasaa), (ii) ‘Abdul al-Malik ibn Muhammad al-Raqosi (tsanaa), (iii) Abu ‘Atabu al-Dalaali (tsanaa), (iv) Syu’bah (‘tsanaa), (v) Ya’la ibn ‘Atho` (‘an), (vi) ‘Abdullah ibn ‘Amr (‘an), (vii) Rasulullah Saw.









Skema Keseluruhan Sanad Hadis
رض الرب في رض الوالد وسخط الرب في سخط الوالد


Rasulullah Muhammad Saw


‘Abdullah ibn ‘Amr ( W. 63 H )



`Atho’ al-`Umar al-Thoifi ( W…..? )



Ya’la ibn ‘atho` ( W. 120 H )



Syu’bah ( W. 160 H )






Khalid ibn al-harits ( W. 186 H ) Abu ‘Atabu al-Dalaali ( W. 208 H )



Abu Hafsin ‘Umar ibn ‘Ali ‘Abd al-Malik ibn Muhammad al-Raqosi ( W. 276 H. )
( W. 190 H )


Abu Fadli Ja’far ibn Muhammad al-Qofalai ( W. ……? )






Jalur at-Turmudzi ( 209-279 ) Jalur Ibnu Bathoh



4. PEMBAHASAN KUALITAS RIJAL Al-SANAD ATAU PERIWAYAT HADIS

Berikut diturunkan informasi mengenai tiap-tiap perawi hadis dari kedua mukharrij untuk dapat dianalisis dan diberi penilaian status hadisnya.
A. Sanad atau Jalur Hadis At-Turmudzi
1. Abu Hafsin `Umar ibn `Ali
a. Nama lengkapnya: `Umar ibn `ali ibn `Atho’ ibn Muqodim al-Muqodimi, Abu Hafsin al-Bashiri, Maula Tsaqif. Wafat tahun 190 H dan ada juga yang mengatakan setelah tahun itu. Dan beliau meriwayatkan beberapa hadis dalam kitab yang disusun oleh al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah.
b. Periode ke-8 pertengahan dari tabi`i dan tabi`in
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis
• Guru-gurunya, ia meriwayatkan hadis dari Ibrahim ibn `Aqobah, `Usman ibn hakim al-Anshor. Isma`il ibn Abi Khalid, Hujaj ibn Uruthoh, Nafi` ibn `Amr al-Jamhih Yahya ibn sa`idu al- Anshori, Hajjaj ibn `Uruthoh, Khalid al-Hada`, Sufyan ats-Tsauri, dll.
• Muridnya antara lain yaitu Ahmad ibn Tsabit Al-Jahdari, Ahmad ibn `Ubaidillah al-Sulaimi, Abu Dhofar `Abdussalam ibn Muthohar, Muhammad ibn basyar Binadhar, Yusuf ibn Wadhih, Ja`far ibn Harun, dll.
d. Penilaian para pengkritik hadis tentang dirinya: menurut Ibnu Hajar dia termasuk : ثقة ، و كان يدلس شديدا dan menurut adz-dzahabi رجل صالح موثق ، يدلس
2. Khalid ibn al-harits
a. Nama lengkapnya: Khalid ibn Al-Harits ibn `Ubaid ibn al-Sulaiman ibn `Ubaid ibn sufyan ibn Mas`ud, dan ada yang mengatakan Khalid ibn al-Harits ibn Sulaimi al-Hujaimi, Abu `Usman al-Basri. Lahir tahu 120 H. dan Wafat pada tahun 186 H.
Dan beliau meriwayatkan beberapa hadis dalam kitab yang disusun oleh al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah.
b.. Periode ke-8 dari pertengahan Tabi`it Tabi`in
c. Guru dan muridnya dibidang periwayatan hadis
• Guru : di antara gurunya adalah `Uban ibn Shum`ah, Tsabit ibn `Imaroh, Khatim ibn Abi Shagiroh, Hamid al-Thowil, Sa`id ibn Abi `Urubah, `Abdullah ibn `Aun, Syu`bah ibn Hajjaj, `Abdul malik ibn Abi Sulaiman. Dll.
• Muridnya pula adalah seperti: Abu al-As`ats Ahmad ibn al-Muqdam al-`Ajali, Ishaq ibn rahawaih, `Umar ibn `Ali, Ismail ibn Mas`ud al-Jahdari, `Al-Hasan ibn qoza`ah, `Abdurrahman ibn al-Mubarak al-`‘Isa. Dll.
d. Penilaian para pengkritik hadis tentang dirinya: menurut Ibnu Hajar tsiqoh tsabat, menurut adz-dzahabi
: قال أحمد : إليه المنتهى فى التثبت بالبصرة ، و قال القطان : ما رأيت خيرا منه و من سفيان
3. Syu’bah
a. Nama lengkapnya: Syu`bah ibn Al-Hajjaj ibn al-Warid al-mu`takhi maulahum al-azadi. (83-160 H), lahir pada tahun 83 H dan tinnggal di Bashrah. Dan wafat pada tahun 160 H di Bashrah dalam usia 77 tahun.
b. Periode ke-7 dari tabi`u tabi`in besar. Dan beliau meriwayatkan beberapa hadis dalam kitab yang disusun oleh al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah.
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Gurunya antara lain: `Uban ibn Taglib, Ibrahim ibn `Amir ibn Mas`ud al-jamhi, Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntasir, Ya`la ibn `Atho’ Ismail ibn Abi Khalid, Anas ibn sirin, Al-Hasan ibn `Imran. Dll
• Murid-muridnya antara lain: Khalid ibn al-Harits, Ibrahim ibn Sa`ad al-Zahra, Adam ibn Iyas, Ayyub ibn al-syahtiyani, Su`aid ibn `Amri al-Dhabi`, `Abu `Atabu al-Dalai, `Abdul Shomad ibn `Abdul Warits. dll
d. Penilaian para kritikus hadis tentang dirinya: Syub`ah termasuk ahli Hadis kenamaan dari kalangan Tabi`it Tabi`in. Ulama telah sepakat mengakui keahliannya dan ketelitiannya dalam hadis. Menurut Ibnu Hajar
ثقة حافظ متقن ، كان الثورى يقول : هو أمير المؤمنين فى الحديث sedangkan menurut adz-dzahabi
أمير المؤمنين فى الحديث ، ثبت حجة و يخطىء فى الأسماء قليلا
Dan banyak sekali ulama Hadis dari kalangan Tabi`it Tabi`in yang meriwayatkan hadis darinya antara lain : Ats-Tsauri dan Yahya Al-Qaththan. Adapun kitab susunannya dalam ilmu hadis dinamai Ar-Ragha-ib.
4. Ya’la ibn ‘Atho`
a. Nama lengkapnya: Ya`la ibn `Atho’ al-Amri al-Qurosi, disebut juga Alaisy atau At-thoifi dan ada yang mengatakan Maula `Abdullah ibn `Amr ibn al-`Ash.
b. Periode : ke-4 pertengahan dari tabi`in. Wafat tahun 120 H. Dan beliau meriwayatkan beberapa hadis dalam kitab yang disusun oleh al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah.
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Di antara gurunya adalah Jabir ibn Yazid ibn al-Aswad, `Abdullah ibn Sufyan ibn `Abdullah al-tsaqofi, `Atho’ al-‘Umar (ayahnya), `Ali ibn `Abdullah al-Azdi al-Bariqi, `Imaroh ibn Hadid al-Bajali Al-walid ibn `Abdurrahman al-Jarosy, dll.
• Adapun murid-muridnya antara lain : Hamad ibn Salamah, Sufyan ats-tsauri, Syarik ibn Abdullah, Syu`bah ibn al-Hajjaj, Su`aid ibn al-Hajaj, Hasyim ibn Basyir, dll.
d. Penilaian para kritikus hadis tentang dirinya:
Para ulama hadis Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi menilai Ya’la ibn ‘atho` sebagai orang yang tsiqah atau terpercaya
5. Abihi/’Atho`
a. Nama lengkapnya: `Atho’ al-`Umar al-Thoifi
b. Periode ke-3 pertengahan dari at-tabi`in. Dan beliau meriwayatkan beberapa hadis dalam kitab yang disusun oleh al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasai.
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Guru-gurunya antara lain: Aws ibn Abi Aws ats-Tsaqifi, `Abdullah ibn `Abas, Abdullah ibn `Amr ibn al-`Ash, Abi alqomah maula bani Hasyim.
• Adapun muridnya yaitu Ya`la ibn `Atho’
d. Penilaian para pengkritik hadis tentang dirinya: menurut Ibnu Hajar dia مقبول sedangkan menurut Adz-dzahabi لم يذكرها
6. ‘Abdullah ibn ‘Amr
a. Nama lengkapnya: `Abdullah ibn `Amr ibn `Ash ibn Wail ibn ibn hasyim ibn Su`aid ibn sa`ad al-Qurosi as-sahmi, Abu Muhammad.
b. Periode ke-1 : sahabat. Dan beliau meriwayatkan beberapa hadis dalam kitab yang disusun oleh al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah. Beliau wafat ليالى الحرة بـ الطائف di Mesir pada tahun 63 H dalam usia 72 tahun. Sesudah Nabi Wafat beliau ini masih hidup 53 tahun lamanya.
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Guru-gurunya: Nabi Muhammad Saw, Umar ibn Khatab, `Amr ibn `Ash (ayahnya), Abu Bakar Ashidiq, dll
• Murid-muridnya: `Atho’ al-`Umar al-Thoifi, `Amr ibn `Aws ats-tsaqif, `Abdullah ibn al-harits ibn Naufal, Hamid ibn ar-rahman ibn `Auf, Ibrahim ibn Muhammad ibn tholhah ibn `Abidillah, dll.
d. Penilaian para pengkritik hadis tentang dirinya: menurut Ibnu Hajar صحابى dan Adz-dhahabi ( صحابى ( قال : أسلم قبيل أبيه ، و كان من العلماء العبادserta tidak sedikit sahabat-sahabat Nabi yang terkemuka, antara lain Aisyah ra, dan Abu Hurairah ra. mengakui keahliannya dalam lapangan Hadis. Hadis-hadis dari beliau yang sampai pada kita hanya 700. Diantaranya Imam Bukhari meriwayatkan sebanyak 8 Hadis dan Imam Muslim sebanyak 20 Hadis.
B. Sanad atau Jalur Hadis Ibn Bathoh
1. Abu Fadil Ja’far ibn Muhammad al-Qofalai
a. Nama lengkapnya:
جعفر بن محمد بن الفضيل الرسعنى ، أبو الفضل ، و يقال له الراسى ( و هو أخو يزيد بن محمد بن الفضيل )
b. periode ke-11 : أوساط الآخذين عن تبع الأتباع Dan beliau meriwayatkan hadis dalam kitab yang disusun at-Turmudzi

c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Guru-gurunya antara lain : Ishak ibn Ibrahim al-Hanini, Sulaiman ibn `Abdrrahman ad-Damsiqi, `Abdullah ibn Muhammad ibn Hajar Rasa`in, `Abdul Malik ibn `Abdul `Aziz ibn al-Majasun, Muhammad ibn Sulaiman ibn Abi Dawud al-Harani, dll.
• Murid-muridnya antara lain : `Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, Muhammad ibn al-Hasan ibn Abi Syaikh, Abu al-hasan Muhammad ibn Muhammad ibn `Abdullah ibn Badri al-Bahali, Musa ibn Muhammad ibn Musa al-Maktabi, dll.
d. Penilaian para pengkritik hadis tentang dirinya: menurut Ibnu Hajar صدوق حافظ sedangkan menurut adz-dzahabi الحافظ
2. ‘Abdul al-Malik ibn Muhammad al-Raqosi
a. Nama lengkapnya: ‘Abdul al-Malik ibn Muhammad ibn `Abdullah ibn Muhammad ibn `Abdul al-Malik ar-Raqosi
b. Periode ke-11 أوساط الآخذين عن تبع الأتباع. Dan beliau meriwayatkan hadis dalam kitab yang disusun ibnu Majah. Beliau lahir tahun 190 H. dan wafat tahun 276 H.
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Gurunya antara lain yaitu Al-Hasan ibn `Amru al-`Abdi, Su`aid ibn `Amr ad-dhobi’, Abu Dawud Sulaiman ibn Dawud ath-thoyalis, `Abullah ibn Musalamah al-qanini, `Abdus-Shomad ibn `Abdul Warits, Muhammad ibn `Abdullah ar-Raqosi (ayahnya), dll.
• Di antara muridnya pula adalah seperti Ibnu Majah, Isma`il ibn Muhammad ash-shofar, `Abu Bakar `Abdullah ibn Abi Dawud, Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah, Muhammad ibn Jarir ath-thobari, Abu Ja`far Muhammad ibn `Amru ibn al-Bihtari, dll.
d. Penilaian para pengkritik hadis tentang dirinya: Ibnu Hajar menilai
صدوق يخطىء تغير حفظه لما سكن بغداد
Sedangkan adz-Dzahabi menilai
الحافظ ، صدوق يخطىء ، قال ابن جرير : ما رأيت أحفظ منه

3. Abu ‘Atabu al-Dalaali
a. Nama lengkapnya: سهل بن حماد العنقزى ، أبو عتاب الدلال البصرى
b. periode ke-9 من صغار أتباع التابعين Dan beliau meriwayatkan hadis dalam kitab yang disusun Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, An-Nasa`I, ibnu Majah. Beliau wafat pada tahun 208 H.
c. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:
• Di antara gurunya adalah: Ja`far ibn Sulaiman Adh-dhobi`, Ibrahim ibn `Atho’ ibn Maimunah, Syu`bah ibn al-Hajaj, al-Muhtar ibn Nafi`, Hamam ibn Yuhyi, dll.
• Adapun muridnya adalah seperti Ibrahim ibn Basri ibn Hamad, Hajaj ibn Sya`ir, Al-Hasan ibn `Ali Al-Kholil, Abu Qolabah `Abbdul Malik ibn Muhammad ar-Raqasi `Abdullah ibn `Abdurrahman adh-dharami, dll.
d. Penilaian para kritikus hadis tentang dirinya: Ibnu Hajar : shodiq, sedangkan menurut adz-dzahabi : محدث صدوق ، قال أبو حاتم : صالح الحديث
4. Syu`bah (sudah dijelaskan sebelumnya)

5. Ya`la ibn `Atho’ (sudah dijelaskan sebelumnya)

6. `Abdulah ibn `Amr (sudah dijelaskan sebelumnya)
Setelah diteliti setiap periwayat hadis dari kedua sanad di atas, semua periwayat-periwayatnya telah mendapat penilaian positif dari ulama-ulama pengkritik hadis sebagaimana yang dinyatakan di atas, baik ia dari jalur sanad at-Turmudzi maupun dari sanad Ibnu Bathoh.

5. PERSAMBUNGAN KEDUA SANAD HADIS

Dari segi persambungan sanad, ternyata sanad hadis at-Turmudzi termasuk muttasil (sampai kepada Rasulullah saw.), kerana perawinya menggunakan lafaz-lafaz haddasana dan `an yang disepakati tinggi kualitasnya di mana antara guru dan murid benar-benar telah terjadi pertemuan dan dialog. (1) Abu khafsin `Umar ibn `Ali (haddasana), (2) Khalid ibn Harits (haddasana), (3) Syu`bah (haddasana). Begitu juga dengan lafaz ‘an, meskipun dikatakan kemungkinan mempunyai kesan-kesan tadlis, namun perawinya tergolong siqah semua; yaitu (4) Ya’la ibn `Atho’ (dengan lafaz ‘an), (5) ‘Atho` al-`Umar At-Thoifi (‘an), (6) `Abdullah ibn `Amr (‘an). Semua nama yang penulis sebut di atas ada hubungan guru dan murid/ murid dan guru. Apabila demikian halnya, maka sanad hadisnya adalah muttasil. Kemudian apabila ditinjau dari tahun wafat tiap perawi yang telah diketahui, tidak ditemukan jarak masa yang mencurigakan, dan masing-masing hidup masih dalam era waktu yang dapat digambarkan kemungkinan bertemunya.
Dalam meneliti sanad Ibnu Bathoh jalur sanadnya (1) Abu Fadil Ja’far ibn al-Qofalai (haddasana), (2) `Abdul Malik ibn Muhammad ar-Roqasi (tsana), (3) Abu `Atabu al-Dalali (tsana), (4) Syu`bah (tsana), (5) Ya’la ibn `Atho’ (dengan lafaz ‘an), (6) ‘Atho` al-`Umar At-Thoifi (‘an), (7) `Abdullah ibn `Amr (‘an). Di jalur ini Abu Fadil Ja’far ibn al-Qofalai tidak ditemukan/tercatat sebagai murid `Abdul Malik ibn Muhammad ar-Roqasi, serta penulis tidak menemukan juga tentang tulisan/catatan bahwa Abu `Atabu al-Dalali sebagai gurunya `Abdul Malik ibn Muhammad ar-Roqasi, tetapi penulis menemukan bahwa `Abdul Malik ibn Muhammad ar-Roqasi tertulis/tercatat sebagai murid Abu `Atabu al-Dalali .
Di jalur ini walaupun ada periwayat yang tidak tercatat sebagai murid dan guru atau sebaliknya tetapi penulis meyakini bahwa hadis di jalur ini termasuk muttasil, karena semua perawi hadisnya adalah siqah atau terpercaya. Memandang kesiqahan tiap-tiap perawi hadisnya itu dan jarak masa di antara mereka relatif dekat, dapat disimpulkan bahawa masing-masing pernah bertemu atau sekurang-kurangnya hidup sezaman. Begitu juga, kalau dilihat jarak waktu wafat yang telah diketahui antara perawi-perawinya, ia masih dalam batas-batas yang munasabah.

6. KESIMPULAN PENILAIAN HADIS
Dari hasil kajian hadis yang penulis lakukan terhadap hadis mengenai ridho Allah ada dalam ridho orang tua dan murka Allah juga murkanya orang tua, dapat penulis simpulkan bahwa hadis tersebut meskipun pada riwayat Ibnu Bathoh ada periwayat yang tidak tercatat hubungan sebagai murid dan guru, tetapi derajatnya adalah hadis sahih karena sanad riwayat Ibnu Bathoh mempunyai barisan periwayat yang siqah semuanya. Jalur sanadnya muttasil yaitu sampai kepada Rasulullah SAW serta adanya dukungan dari riwayat lain yang lebih kuat dan lebih sahih yaitu riwayat at-Turmudzi. Oleh Karena itu, hadis sanad at-Turmudzi dan sanad Ibnu Bathoh sanadnya berstatus sahih.
Adapun dari segi matan/teksnya, penulis tidak menemukan perkara-perkara yang janggal atau bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam umumnya, ataupun dengan hadis- hadis lain yang sama atau lebih kuat daripadanya. Pengajaran yang terkandung di dalamnya adalah diterima dan sah serta dapat dijadikan ajaran dalam Islam.





DAFTAR PUSTASKA


Abbas Hasjim, 2004, Kritik Matan Hadis, Versi Muhadisin dan Fuqaha, Yogjakarta : Teras.

Abu Muhammad Abd al-Muhdi, (tanpa tahun), Turuq Takhrij Hadis Rasulillah saw., Mesir: Dar al-I’tisam.


Mustaqim, Abdul, 2002, Teori Sistem Isnad dan Otensitas Hadis, menurut prespektif Muhammad Mustafa Azami dalam Fazhurrahman. Yogjakarta : Tiara Wacana. Cet. I

Wara dan Zuhud

WARA’ DAN ZUHUD, SIKAP TIDAK TERIKAT DENGAN MATERI

Oleh : Muhammad Yusri

I. Pendahuluan

Ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya. Di antara hal terbesar untuk mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di tengah-tengah manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita suatu amalan yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan manusia kepada kita.

Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy radhiyallahu 'anhu berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ

إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ

"Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu'." (Shahih, HR. Ibnu Majah)

Station yang terpenting bagi seorang calon sufi dalam pendakian spritualnya ialah zuhud, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[1]

Aliran Zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II H, sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebegai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia.[2]

Didalam tasawuf sikap wara’ juga sangat penting karena merupakan sarana membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Semakin bersih hati sang hamba, semakin sedikit untuk berpantang. Arti kata wara’ adalah berpantang atau menjaga diri dari perbuatan dosa atau maksiat sekecil apapun.[3]

II. Pembahasan

A. Pengertian Zuhud dan Wara’

Secara etimologis, zuhud berarti رغب عـنشـين وتـركه (ragaba ‘ansyai’in watarakahu), artinya: tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunyā, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zāhid, zuhhād atau zahīdin. Zahīdah jamaknya zuhdān, artinya kecil atau sedikit.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud sebagai moral (akhlak Islam dan gerakan protes). Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsān, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqām) menuju tercapainya “perjumpaan” atau makrifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari kehendak terhadap hal-hal yang bersifat menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau mā siwā Allāh. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf. yakni ridā, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menatap dunia fana’ ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridaan Allah swt, bukan tujuan hidup.[4]

Zuhud secara bahasa artinya lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia. Berkata Ibnul Qayyim, "Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab “yang merupakan bahasa Islam mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya."

Zuhud menurut Bahasa Arab artinya berpaling darinya karena menganggapnya hina dan remeh serta yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Lafazh ini tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an selain keterangan tentang orang-orang yang menjual Yusuf dengan harga yang murah,

çn÷ruŽŸ°ur ¤ÆyJsVÎ/ <§øƒr2 zNÏdºuyŠ ;oyŠrß÷ètB (#qçR%Ÿ2ur ÏmŠÏù z`ÏB šúïÏÏdº¨9$# ÇËÉÈ

"Dan, mereka menjual Yusuf dengan hargayang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf."(Yusuf: 20).

Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."

Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath.

Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara: Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki ma'rifat.

Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud. Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpaksa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:

1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang ham-ba, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu'man bin Basyir Radhiyallahu Anhuna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati."

Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti Al-A'raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah. Tidak menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang tercela.

2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh para nabi dan shiddiqin.

Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian,tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan. Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu. Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotongnya,maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenikmatan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang bermanfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkannya. Zuhud adalah zuhud hati.

3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan balasan.

Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma'rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini.

Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekedar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya terlalu remeh di matanya. Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.

Dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ

“Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia berkata, ‘Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu’.” (Shahih, HR. Ibnu Majah)

Makna & hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, & para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.

(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ (#þqà)Î/$y 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB óOä3În/§ >p¨Yy_ur $pkÝÎötã ÇÚöyèx. Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ôN£Ïãé& šúïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur rèŒ È@ôÒxÿø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇËÊÈ !$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁB Îû ÇÚöF{$# Ÿwur þÎû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇËËÈ ŸxøŠs3Ïj9 (#öqyù's? 4n?tã $tB öNä3s?$sù Ÿwur (#qãmtøÿs? !$yJÎ/ öNà69s?#uä 3 ª!$#ur Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC Aqãsù ÇËÌÈ

Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan & suatu yg melalaikan, perhiasan & bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta & anak, seperti hujan yg tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering & kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yg keras & ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yg menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu & surga yg luasnya seluas langit & bumi, yg disediakan bagi orang-orang yg beriman kepada Allah & Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yg dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yg besar. Tiada suatu bencanapun yg menimpa di bumi & (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yg demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yg demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yg luput dari kamu, & supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yg diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yg sombong lagi membanggakan diri.”

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna & hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yg sementara & hakikat akhirat yg kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah & surga-Nya di akhirat.

Beliau juga berkata, "Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, 'Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara' adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat'."

Kemudian beliau mengomentarinya, "Ini adalah definisi yang paling baik terhadap makna zuhud dan wara' dan yang paling mencakupnya."
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy, "Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung."

Berkata Az-Zuhriy, "Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram."

Berkata Al-Hasan dan lainnya, "Tidaklah zuhud terhadap dunia itu dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau “apabila ditimpa musibah- lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah."

Beliau membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:

1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang 'awwam, dan ini adalah fardhu 'ain.

2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.

3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.

Zuhud terdiri atas beberapa macam, yakni:

1. Zuhud terhadap yang haram, hukumnya wajib (fardhu) 'ain.

2. Zuhud terhadap yang syubuhat, hukumnya bergantung kepada tingkatan syubuhat tersebut.

3. Zuhud terhadap hal-hal yang tidak berguna, baik berupa ucapan,pandangan, pertanyaan, pertemuan dan sebagainya.

4. Zuhud terhadap manusia.

5. Zuhud terhadap jiwa. Yakni jiwanya berlutut untuk menuju Allah.

6. Zuhud menyeluruh, yakni zuhud terhadap semua yang disebut diatas. Dengan kata lain,

7. Zuhud terhadap selain Allah Azza wa Jalla dan terhadap setiap apa saja yang memalingkan (melupakan) engkau dari Allah.

Dan zuhud yang terbaik ialah menyembunyikan zuhud, sedangkan zuhud yang paling sulit (paling berat) ialah zuhud terhadap apa yang menjadi jatah kita.
Ada beberapa hal yang akan menjadikan kita zuhud terhadap dunia, di antaranya:

1. Kuatnya iman hamba dan menghadirkan diri seolah-olah menyaksikan apa-apa yang di sisi Allah, dan menyaksikan kedasyatan hari kiamat, inilah yang akan menjadikan hilangnya kecintaan terhadap dunia dan kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya dia pun berpaling dari kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan yang sedikit saja darinya.

2. Seorang hamba harus merasakan dan menyadari bahwasanya dunia itu akan menyibukkan hati dari terikat dengan Allah, dan akan menjadikan seseorang terlambat dari mencapai tingginya derajat di akhirat, dan bahwasanya seseorang kelak akan ditanya tentang kenikmatan yang ada padanya, Allah berfirman:

¢OèO £`è=t«ó¡çFs9 >ͳtBöqtƒ Ç`tã ÉOŠÏè¨Z9$# ÇÑÈ

Artinya,"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." [At-Takaatsur:8]

3. Dunia tidak akan didapat oleh seorang hamba sampai dia bersusah payah dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, dia mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya dan pikirannya, dan kadang-kadang dia pun mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan lainnya. Yang seharusnya dia kerahkan tenaga dan pikirannya tersebut untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad dan beribadah kepada Allah. Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang hatinya, akan menjadikan dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan kekal yaitu akhirat.

4. Al-Qur`an telah merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya dan bahwasanya dunia itu sesuatu yang menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Semua nash/dalil ini baik yang ada di dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, akan menjadikan seorang mukmin bosan terhadap dunia, dan dia hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.

Perbedaan zuhud dan wara', kalau zuhud ialah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akhirat, sedangkan wara' adalah meninggalkan sesuatu yang bahayanya ditakuti di akhirat, dan hati yang tertambat dengan berbagai keinginan hawa nafsu tidak layak untuk zuhud dan wara'.

Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara'. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."

Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia."

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."

Sedangkan definisi wara’ menurut Sufi, adalah bahwa : “Kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang dalam sekejappun dari mengingat Allah. Jadi, wara’ itu permulaannya zuhud, keberadaannya wara’ karena ada rasa takut akan Allah, takut terjadi karena makrifat kepada Allah, makrifat sendiri terjadi karena dekat dengan Allah SWT (taqarrub).

Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat).[5] Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain. Disamping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu m,eningglkan segala segala sesuatu yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.[6]

Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah nabi muhammad saw artinya: “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauihi sesuatu yang tidak berarti.” Juga hadits lain yang artinya: “: Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah"[7]

Lebih lanjut para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu dihatinya kecuali Allah.[8]

Apa yang dilakukan oleh para sufi dengan wara’, pada dasarnya adalah merupakan pelaksanaan dari perintah Allah dalam Qs. Al Mudastir: 1-3:

$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ

Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu agungkanlah!”

Al Qur’an tidak menyebutkan kata wara’ secara eksplisit, namun wara’ secara harfiyah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak celaka, banyak diajarkan oleh Al Qur’an, sebagaimana ayat diatas. Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin menyebut ayat diatas sebagai perintah untuk wara’ dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri seseorang. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan: ”janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan penghianatan”.[9]

Menurut Imam Ghazali, sikap wara’ adalah sikap seseorang terhadap perkara-perkara yang halal dan yang haram, seperti yang telah digariskan dalam syariah. Terhadap perkara ini ada empat golongan orang wara’. Wara’ orang awam adalah wara’ terhadap larangan agama atau oleh fatwa ulama. Wara’ orang saleh, menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang tidak jelas status hukumnya (syubhat), wara’ orang bertakwa, adalah menjaga atau mengendalikan diri dari melakukan sesuatu perbuatan karena khawatir akan jatuh ke dalam dosa. Wara’ orang yang benar adalah menahan diri dari apa yang tidak berdosa dan tidak khawatir jatuh kedalam dosa, menahan dirinya semata-mata takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah, atau menghindari hal-hal yang makruh dan maksiat.

Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yg syubhat & meninggalkan yg haram. Lawan dari Wara’ adalah subhat yg berarti tidak jelas apakah hal tersebut halal atau haram.

"Sesungguhnya yg halal itu jelas & yg haram itu jelas. Di antara keduanya ada yg syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yg jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yg haram." (HR Bukhari & Muslim).

B. Faktor Zuhud

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud, Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahin Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[10]

C. Zuhud dalam Tasawuf

Meskipun secara etimologis ‘ulama’ berbeda pendapat tentang asal usul kata tasawuf, namun yang paling tepat berasal dari kata sūf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan para sufi maupun aspek kesejarahan. Melihat dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan subyektivitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyumi mengklasifikan definisi tasawuf kedalam tiga varian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, al-bidāyah, kedua, al-mujāhadah, dan ketiga, al-muzāqāt.

Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena dibalik yang ada terdapat Realitas Mutlak. Karena itu muncul kesadaran manusia untuk mendekati-Nya.

Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak. Elemen ini dapat disebut tahap perjuangan tasawuf.

Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Tahap ini dapat disebut tahap pengalaman dan penemuan mistik.[11]

D. Apilaksi Zuhud pada masa Nabi SAW dan Sahabat

1. Kezuhudan Nabi Muhammad Saw.

Semboyan hidup Nabi Saw. Ialah ”Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang”, adalah menunjukkan kesederhanaan dan sikap tidak memperdulikan keberadaan materinya.

Ketika beliau menangkap ketimpangan dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakatnya, tidak tidak pernah mau ikut menyembah berhala dan tidak pernah ikut mabuk-mabukan, berjudi main perempuan atau perbuatan keji lainnya yang pada masa itu menjadi ukuran kebanggaan dan kemajuan. Untuk menemukan solusi dari ketimpangan budaya sejarah serta keyakinan itu, Muhammad berusaha berkomtemplasi di Gua Hirā’, dan proses batiniah pengalaman religius ini mencapai puncak dengan turunnya wahyu kepadanya. Pada saat beliau tenggelam dalam relung renungan yang dalam, berdo’a dan menjalankan hidup zuhud dan menjauhkan diri hiruk pikuk dunia sekitarnya, mencari kebenaran dan hakekat, sehingga beliau lupa pada diri, makan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan.[12]

Dengan kesungguhan dan konsentrasi Muhammad Saw. itu, ditemukan jalan keluar dari problema masyarakatnya dan dengan tingkat kerohanian yang tinggi, Muhammad Saw. dapat mencapai kualitas musyāhadah al-bātiniyah dan pada urutannya memasuki kualitas yang setara dengan malaikat sehingga dapat menerima wahyu. Ibadah seperti ini biasa disebut oleh ahli sejarah dengan tahannuf atau tahannus.

2. Kezuhudan Sahabat

Kehidupan dan ucapan para sahabat adalah sumber yang dapat dipetik sebagai landasan kehidupan zuhud, yakni kehidupan sederhana dan penuh qanā’ah. Mereka mengikuti jejak Rasul Allah Saw. dan memang dalam kenyataannya Allah Swt. memuji mereka:

šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã ……

Artinya: ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.

Dalam mengemukakan praktek kezuhudan sahabat Nabi ini, ditampilkan tujuah orang sahabat, yakni empat khulafā al-Rāsyidin, seorang yang tergolong sepeluh sahābat yang dijamin masuk syurga, dan dua orang dari Ahl al-Suffah yaitu Abū Bakr al-Shidiq, ’Umar Ibn Khattab, ’Usmān ibn ’Affān, ’Ali Abi Talib, ’Abd al-Rahman ibn ’Auf, Ashāb al-Suffah, Abū Hurairah dan Abu Zar al-Gifāri[13]

3. Zuhud Qur’āni dan Urgensinya di Zaman Modern

Praktek zuhud sebagai maqām cenderung ekstrim menolak dunia, dan dunia dianggap dikotomi dengan akhirat atau Tuhan. Pemikiran seperti ini ditangkap oleh sementara pihak tanpa melihat aspek sosiologisnya sebagaimana telah disebutkan. Hal ini perlu diluruskan dan dikembalikan serta dikonsultasikan ke pangkalannya, yakni al-Qurān dan al-Hadĭs.

Pernyataan al-Qur’ān tersebut tidak menghendaki agar umat Islam hidup ‘uzlah (isolasi diri) dari kehidupan dunia, tidak menghiraukan keramaiannya, dan mengabaikan fungsi kekhalifahan manusia. Al-Qur’ān memberi gambaran dan perbandingan bahwa kehidupan yang bernilai adalah kehidupan akherat. Oleh karena itu jangan sampai tergiur dengan gemerlapnya dunia, akan tetapi sebaliknya hendaknya ia jadikan sarana berlomba dalam kebaikan.

III. Kesimpulan

Setiap manusia menghendaki hidup di dunia ini selalu ingin mendapatkan ketenangan dan cinta serta dicintai oleh Allah Swt. Dalam ketenangan tersebut seorang yang memiliki jiwa sufi yang mencapai tingkatan zuhud berusaha untuk meninggalkan kepentingan dunia dan hidup kematerian. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf. yakni ridā, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

Zuhud terdiri dari dua hal

1. zuhud sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tasawuf

2. zuhud sebagai moral (akhlak Islam dan gerakan protes).

Sedangkan definisi wara’ menurut Sufi, adalah bahwa : “Kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang dalam sekejappun dari mengingat Allah. Jadi, wara’ itu permulaannya zuhud, keberadaannya wara’ karena ada rasa takut akan Allah, takut terjadi karena makrifat kepada Allah, makrifat sendiri terjadi karena dekat dengan Allah SWT (taqarrub).

Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat). Ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu dihatinya kecuali Allah.

Praktek zuhud sebagai maqām jangan cenderung ekstrim menolak dunia, dan dunia dianggap dikotomi dengan akhirat atau Tuhan tetapi Al-Qur’ān memberi gambaran dan perbandingan bahwa kehidupan yang bernilai adalah kehidupan akherat, sehingga dijadikan sebagai sarana berlomba dalam kebaikan.

Daftar Pustaka

Al Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, Jakarta

Dr. Abu al-Wafa’al-Ghanimi, 1983, Madkhal ila al Tasawuf al-Islam, Kairao, Dar al-Tsaqafah lil al-Tauzi’

Haikal, Husain. 1965, Hayātu Muhammad. Maktabah Nahdah, Mesir

Harun Nasution, 1995, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta

http://ngaji-online.com/2008/07/24/hilyah-thalibil-ilmi/
Majalah Al Wala’ Al Bala’Edisi ke-34 Tahun ke-3 / 29 Juli 2005 M / 22 Jumadits Tsani 1426 H

http://www.dakwatuna.com/2007/zuhud/

Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sirat al-Mustaqim, Madarij al-sadikin baina manazilu, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Juz I

Syukur, Amin. 1997, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta



[1] Harusn Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta; 1995 hlm. 64

[2] Dr. Abu al-Wafa’al-Ghanimi, Madkhal ila al Tasawuf al-Islam, Kairao, Dar al-Tsaqafah lil al-Tauzi’, 1983, hlm.54

[4] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pengantar M. Quraish Shihab, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 2

[5] Abu a-Qasim ibn ‘Abd al-Karim ibn Hawazi al –Qusyairi a-Naishaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Khair,tt hlm. 110

[6] Hal ini sebagaimana pandangan Ibrahim bin Adham, Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 110

[7] Dikutip dari al-Qusyairi, Ibid, hlm. 109

[8] Qamar Kaylani, fi al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969, h. 32 dan 61

[9] Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sirat al-Mustaqim, Madarij al-sadikin baina manazilu, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Juz I, hal 21

[10] Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 58-59

[11] Syukur Amin, Op Cit, hlm. 12

[12] Haikal, Husain. Hayātu Muhammad. Maktabah Nahdah, Mesir , 1965; hlm. 129

[13] Amin, Syukur, Op Cit, hlm. 54