Powered By Blogger

Jumat, 25 Desember 2009

Budaya Keberagamaan

PERSEPSI SISWA DAN GURU

TERHADAP BUDAYA KEBERAGAMAAN

DI SMK MUHAMMADIYAH 6 GEMOLONG SRAGEN

Oleh : Muhammad Yusri

  1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk membentuk pribadi manusia melalui suatu proses. Secara formal pendidikan semacam ini telah dilaksanakan di suatu lembaga yang disebut sekolah. Pendidikan yang diselenggarakan di lembaga adalah di bawah tanggung jawab pemerintah secara nasional. Fungsinya adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU Sikdiknas No.20 tahun 2003 pasal 3).

Usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa perlu dikembangkan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan, dalam hal ini disebut pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah (Arifin, 2006: 8).

Sistem pembelajaran pendidikan agama Islam merupakan sistem pembelajaran yang berbeda dengan sistem pembelajaran materi diklat lain pada umumnya. Pengembangan budaya keberagamaan di SMK Muhammadiyah 6 Gemolong Kabupaten Sragen ini dilatarbelakangi oleh keinginan pihak sekolah agar siswanya mempunyai sikap, budi pekerti, moral, dan akhlak mulia sesuai ajaran al-Qur`an dan al-Hadis dengan benar. Sebagai mata pelajaran moral, pihak sekolah memberikan perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian itu diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan (regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu, sekolah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilai-nilai agama.

Dalam mewujudkan dan menjalankan nilai-nilai keimanan tersebut maka diperlukan penciptaan suasana religius di sekolah dan di luar sekolah. Hal ini disebabkan nilai-nilai keimanan yang melekat pada diri peserta didik kadang-kadang bisa terkalahkan oleh budaya-budaya negatif yang berkembang di sekitarnya, untuk itu diperlukan suatu upaya kerja sama dengan orang tua dalam bentuk bimbingan dan pengawasan yang intensif terhadap diri anak didik.

Hal ini berkaitan dengan adanya isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (3) yang isinya berbunyi: ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini menunjukkan dengan tegas bahwa pendidikan agama memiliki makna penting, dan perlu diperhatikan oleh berbagai kalangan, terutama kalangan lembaga pendidikan.

Selain hal tersebut di atas, pembinaan terhadap siswa mengenai pengetahuan agama dan pembinaan akhlak membutuhkan lebih banyak perhatian sehingga penerapan pembelajaran pendidikan agama Islam berbeda dengan pembelajaran materi-materi diklat lainnya. Oleh karena itulah diperlukan berbagai inovasi dan upaya yang bersifat terus menerus untuk melaksanakan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah.

Namun usaha penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah, sesuai dengan struktur kurikulum pendidikan nasional hanya diselenggarakan dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran perminggu. Alokasi waktu ini dirasakan sangat kurang dibandingkan dengan bobot materi dan tuntutan pemahaman keagamaan yang harus dikuasai siswa. Hal inilah yang mendorong adanya usaha untuk mengembangkan pendidikan Islam melalui pengembangan budaya keberagamaan di lingkungan sekolah.

Pengembangan pendidikan Islam melalui pengembangan budaya keberagamaan di lingkungan sekolah ini tidak bisa terlepas dari peranan kepala sekolah, guru, dan siswa. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah mewujudkan visi, misi, dan tujuannya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Menurut Wahjosumidjo (2008: 205) pengembangan meliputi upaya perbaikan, perluasan, pendalaman, dan penyesuaian pendidikan melalui peningkatan mutu baik penyelenggaraan kegiatan pendidikan maupun peralatannya. Kaitannya dengan pengembangan budaya keberagamaan ini dilaksanakan dengan tidak mengurangi kelangsungan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah yang bersangkutan, justru berkaitan erat dan menunjang mata pelajaran PAI. Pada tataran inilah kepala sekolah dengan wewenang kebijakannya memberi peluang untuk pengembangan budaya keberagamaan di sekolah.

Pendidikan agama di sekolah bukan hanya melalui pengajaran ilmu pengetahuan (kognitinif) saja di dalam kelas, bersifat normatif, tekstual, deduktif saja. Tetapi pendidikan agama juga perlu bimbingan untuk penghayatan dan pengamalan (afektif dan psikomotorik) di luar kelas, yang bersifat empiris dan humanistis. Ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa jumlah jam pelajaran pendidikan agama di dalam kelas sangat terbatas, hanya 2 jam perminggu, sehingga tidak cukup waktu untuk melaksanakan bimbingan yang bersifat komprehensif di kelas saja.

Bimbingan untuk penghayatan dan pengamalan agama diperlukan waktu untuk praktek dan pembiasaan amalan agama secara sistematis, perlu juga di lakukan di luar kelas. Untuk mengembangkan penghayatan dan pengamalan agama juga diperlukan suasana yang secara tidak langsung menciptakan pembiasaan (pembudayaan) yang terkontrol di lingkungan sekolah. Pembudayaan pengamalan pendidikan agama di luar kelas harus dilihat sebagai bagian dari proses pembelajaran agama sepanjang hayat. Di samping itu pembudayaan pengamalan agama di lingkungan sekolah (di luar kelas) juga sebagai bagian dari media pengawasan kegiatan keagamaan siswa yang dewasa ini mulai menyimpang dari standar isi pendidikan agama.

Pembudayaan keberagamaan di sekolah perlu diciptakan lingkungan komunitas sekolah yang kondusif untuk proses pembelajaran pendidikan agama. Lingkungan sekolah yang kondusif untuk pembudayaan kehidupan beragama dapat berupa lingkungan yang bersifat fisik maupun non fisik.

Kebudayaan fisik adalah segala sesuatu yang bisa dilihat dan diraba yang bernilai budaya. Kebudayaan fisik di Indonesia diantaranya adalah rumah adat, pakaian adat, prasasti, candi, monumen, senjata daerah, lambang Negara, museum, kapal perang, UUD 1945, dsb. Indonesia yang wilayahnya terdiri atas 33 provinsi, mempunyai rumah adat yang jumlahnya sama dengan jumlah provinsi tersebut. Ada nilai-nilai sakral ‏‏yang menaungi ‏‏kebudayaan fisik, sehingga keberadaannya secara fisik non-fisik ‏menyimbolkan ‏‏sesuatu yang kaya makna.

Kebudayaan non fisik adalah segala hal yang tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, budaya itu hidup dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Kebudayaan non fisik dikategorikan menjadi tiga kategori:

Pertama, pandangan hidup. Pandangan hidup merupakan kerangka berfikir perorangan, masyarakat bangsa tentang sesuatu yang berhubungan dengan hidupnya.

Kedua, nilai. Nilai adalah anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk, benar salah, etis-tidak etis, sopan-tidak sopannya hal itu.

Ketiga norma. Norma itu aturan-aturan yang dimaksudkan untuk mengatur perorangan, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.

` Dan ketika seorang siswa dapat memahami, mengerti dan menghayati apa yang disampaikan guru, maka siswa akan dapat mempraktekkan dalam kehidupanya. Artinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, siswa tidak akan terlepas dari aturan-aturan yang terdapat dalam agama.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku beragama sangat banyak sekali. Ada faktor intern dan ada juga faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa misalnya meliputi kesadaran siswa akan pentingnya peningkatan perilaku beragama ataupun keinginan siswa untuk meningkatkan perilaku beragamanya sehari-hari.

Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar siswa misalnya adanya motivasi atau dorongan dari guru, adanya stimulus dari guru maupun adanya pengaruh lingkungan dalam peningkatan perilaku beragama siswa.

Umumnya pengembangan budaya keberagamaan belum seluruhnya sesuai dengan kehendak kurikulum. Hal ini disebabkan oleh (1) masih terbatasnya pemahaman pembelajaran PAI bagi siswa, (2) prasarana dan sarana yang masih terbatas, (3) secara prakteknya kurang memadai. Oleh sebab itu komponen sekolah perlu memikirkan suatu tindakan tertentu guna mengembangkan budaya keberagamaan untuk selanjutnya diamati dan dianalisis.

Dipilihnya SMK Muhammadiyah 6 Gemolong Kabupaten Sragen sebagai objek penelitian karena (1) SMK Muhammadiyah 6 Gemolong Kabupaten Sragen punya komitmen dalam melaksanakan budaya keberagamaan. (2) pengembangan budaya keberagamaan mendapat dukungan secara moril maupun materil dari yayasan Muhammadiyah,(3) mendapat dukungan dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para guru, komite sekolah, dan para orang tua/wali siswa.

SMK Muhammamadiyah 6 Gemolong merupakan lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Muhammadiyah yang terletak di Desa Ngembatpadas Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen, dengan aktifitas belajar mulai jam 07.00 WIB sampai 14.00 WIB, dengan durasi waktu yang cukup panjang tersebut, maka untuk membentuk mentalitas dan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam sangat memungkinkan sekali.

Dalam melaksanakan pendidikan Islam, lembaga ini tidak hanya menekankan pada kemampuan kognitif semata, tetapi bagaimana konseptualitas tersebut mampu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengupayakan praktek langsung di lingkungan sekolah seperti shalat dhuhur berjema’ah dan shalat Juma’at serta bimbingan mengaji bagi yang belum bisa.

Berangkat dari fenomena di atas, peneliti tertarik untuk memaparkan secara empiris melalui penelitian deskriptif tentang persepsi siswa dan guru terhadap pengembangan budaya keberagamaan yang dilaksanakankan di SMK Muhammadiyah 6 Gemolong Kabupaten Sragen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar