Powered By Blogger

Jumat, 25 Desember 2009

Wara dan Zuhud

WARA’ DAN ZUHUD, SIKAP TIDAK TERIKAT DENGAN MATERI

Oleh : Muhammad Yusri

I. Pendahuluan

Ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya. Di antara hal terbesar untuk mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di tengah-tengah manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita suatu amalan yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan manusia kepada kita.

Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy radhiyallahu 'anhu berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ

إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ

"Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu'." (Shahih, HR. Ibnu Majah)

Station yang terpenting bagi seorang calon sufi dalam pendakian spritualnya ialah zuhud, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[1]

Aliran Zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II H, sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebegai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia.[2]

Didalam tasawuf sikap wara’ juga sangat penting karena merupakan sarana membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Semakin bersih hati sang hamba, semakin sedikit untuk berpantang. Arti kata wara’ adalah berpantang atau menjaga diri dari perbuatan dosa atau maksiat sekecil apapun.[3]

II. Pembahasan

A. Pengertian Zuhud dan Wara’

Secara etimologis, zuhud berarti رغب عـنشـين وتـركه (ragaba ‘ansyai’in watarakahu), artinya: tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunyā, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zāhid, zuhhād atau zahīdin. Zahīdah jamaknya zuhdān, artinya kecil atau sedikit.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud sebagai moral (akhlak Islam dan gerakan protes). Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsān, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqām) menuju tercapainya “perjumpaan” atau makrifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari kehendak terhadap hal-hal yang bersifat menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau mā siwā Allāh. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf. yakni ridā, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menatap dunia fana’ ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridaan Allah swt, bukan tujuan hidup.[4]

Zuhud secara bahasa artinya lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia. Berkata Ibnul Qayyim, "Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab “yang merupakan bahasa Islam mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya."

Zuhud menurut Bahasa Arab artinya berpaling darinya karena menganggapnya hina dan remeh serta yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Lafazh ini tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an selain keterangan tentang orang-orang yang menjual Yusuf dengan harga yang murah,

çn÷ruŽŸ°ur ¤ÆyJsVÎ/ <§øƒr2 zNÏdºuyŠ ;oyŠrß÷ètB (#qçR%Ÿ2ur ÏmŠÏù z`ÏB šúïÏÏdº¨9$# ÇËÉÈ

"Dan, mereka menjual Yusuf dengan hargayang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf."(Yusuf: 20).

Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."

Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath.

Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara: Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki ma'rifat.

Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud. Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpaksa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:

1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang ham-ba, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu'man bin Basyir Radhiyallahu Anhuna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati."

Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti Al-A'raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah. Tidak menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang tercela.

2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh para nabi dan shiddiqin.

Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian,tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan. Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu. Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotongnya,maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenikmatan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang bermanfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkannya. Zuhud adalah zuhud hati.

3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan balasan.

Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma'rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini.

Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekedar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya terlalu remeh di matanya. Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.

Dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ

“Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia berkata, ‘Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu’.” (Shahih, HR. Ibnu Majah)

Makna & hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, & para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.

(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ (#þqà)Î/$y 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB óOä3În/§ >p¨Yy_ur $pkÝÎötã ÇÚöyèx. Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ôN£Ïãé& šúïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur rèŒ È@ôÒxÿø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇËÊÈ !$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁB Îû ÇÚöF{$# Ÿwur þÎû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇËËÈ ŸxøŠs3Ïj9 (#öqyù's? 4n?tã $tB öNä3s?$sù Ÿwur (#qãmtøÿs? !$yJÎ/ öNà69s?#uä 3 ª!$#ur Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC Aqãsù ÇËÌÈ

Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan & suatu yg melalaikan, perhiasan & bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta & anak, seperti hujan yg tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering & kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yg keras & ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yg menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu & surga yg luasnya seluas langit & bumi, yg disediakan bagi orang-orang yg beriman kepada Allah & Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yg dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yg besar. Tiada suatu bencanapun yg menimpa di bumi & (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yg demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yg demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yg luput dari kamu, & supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yg diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yg sombong lagi membanggakan diri.”

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna & hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yg sementara & hakikat akhirat yg kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah & surga-Nya di akhirat.

Beliau juga berkata, "Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, 'Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara' adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat'."

Kemudian beliau mengomentarinya, "Ini adalah definisi yang paling baik terhadap makna zuhud dan wara' dan yang paling mencakupnya."
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy, "Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung."

Berkata Az-Zuhriy, "Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram."

Berkata Al-Hasan dan lainnya, "Tidaklah zuhud terhadap dunia itu dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau “apabila ditimpa musibah- lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah."

Beliau membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:

1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang 'awwam, dan ini adalah fardhu 'ain.

2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.

3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.

Zuhud terdiri atas beberapa macam, yakni:

1. Zuhud terhadap yang haram, hukumnya wajib (fardhu) 'ain.

2. Zuhud terhadap yang syubuhat, hukumnya bergantung kepada tingkatan syubuhat tersebut.

3. Zuhud terhadap hal-hal yang tidak berguna, baik berupa ucapan,pandangan, pertanyaan, pertemuan dan sebagainya.

4. Zuhud terhadap manusia.

5. Zuhud terhadap jiwa. Yakni jiwanya berlutut untuk menuju Allah.

6. Zuhud menyeluruh, yakni zuhud terhadap semua yang disebut diatas. Dengan kata lain,

7. Zuhud terhadap selain Allah Azza wa Jalla dan terhadap setiap apa saja yang memalingkan (melupakan) engkau dari Allah.

Dan zuhud yang terbaik ialah menyembunyikan zuhud, sedangkan zuhud yang paling sulit (paling berat) ialah zuhud terhadap apa yang menjadi jatah kita.
Ada beberapa hal yang akan menjadikan kita zuhud terhadap dunia, di antaranya:

1. Kuatnya iman hamba dan menghadirkan diri seolah-olah menyaksikan apa-apa yang di sisi Allah, dan menyaksikan kedasyatan hari kiamat, inilah yang akan menjadikan hilangnya kecintaan terhadap dunia dan kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya dia pun berpaling dari kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan yang sedikit saja darinya.

2. Seorang hamba harus merasakan dan menyadari bahwasanya dunia itu akan menyibukkan hati dari terikat dengan Allah, dan akan menjadikan seseorang terlambat dari mencapai tingginya derajat di akhirat, dan bahwasanya seseorang kelak akan ditanya tentang kenikmatan yang ada padanya, Allah berfirman:

¢OèO £`è=t«ó¡çFs9 >ͳtBöqtƒ Ç`tã ÉOŠÏè¨Z9$# ÇÑÈ

Artinya,"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." [At-Takaatsur:8]

3. Dunia tidak akan didapat oleh seorang hamba sampai dia bersusah payah dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, dia mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya dan pikirannya, dan kadang-kadang dia pun mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan lainnya. Yang seharusnya dia kerahkan tenaga dan pikirannya tersebut untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad dan beribadah kepada Allah. Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang hatinya, akan menjadikan dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan kekal yaitu akhirat.

4. Al-Qur`an telah merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya dan bahwasanya dunia itu sesuatu yang menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Semua nash/dalil ini baik yang ada di dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, akan menjadikan seorang mukmin bosan terhadap dunia, dan dia hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.

Perbedaan zuhud dan wara', kalau zuhud ialah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akhirat, sedangkan wara' adalah meninggalkan sesuatu yang bahayanya ditakuti di akhirat, dan hati yang tertambat dengan berbagai keinginan hawa nafsu tidak layak untuk zuhud dan wara'.

Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara'. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."

Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia."

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."

Sedangkan definisi wara’ menurut Sufi, adalah bahwa : “Kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang dalam sekejappun dari mengingat Allah. Jadi, wara’ itu permulaannya zuhud, keberadaannya wara’ karena ada rasa takut akan Allah, takut terjadi karena makrifat kepada Allah, makrifat sendiri terjadi karena dekat dengan Allah SWT (taqarrub).

Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat).[5] Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain. Disamping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu m,eningglkan segala segala sesuatu yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.[6]

Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah nabi muhammad saw artinya: “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauihi sesuatu yang tidak berarti.” Juga hadits lain yang artinya: “: Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah"[7]

Lebih lanjut para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu dihatinya kecuali Allah.[8]

Apa yang dilakukan oleh para sufi dengan wara’, pada dasarnya adalah merupakan pelaksanaan dari perintah Allah dalam Qs. Al Mudastir: 1-3:

$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ

Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu agungkanlah!”

Al Qur’an tidak menyebutkan kata wara’ secara eksplisit, namun wara’ secara harfiyah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak celaka, banyak diajarkan oleh Al Qur’an, sebagaimana ayat diatas. Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin menyebut ayat diatas sebagai perintah untuk wara’ dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri seseorang. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan: ”janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan penghianatan”.[9]

Menurut Imam Ghazali, sikap wara’ adalah sikap seseorang terhadap perkara-perkara yang halal dan yang haram, seperti yang telah digariskan dalam syariah. Terhadap perkara ini ada empat golongan orang wara’. Wara’ orang awam adalah wara’ terhadap larangan agama atau oleh fatwa ulama. Wara’ orang saleh, menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang tidak jelas status hukumnya (syubhat), wara’ orang bertakwa, adalah menjaga atau mengendalikan diri dari melakukan sesuatu perbuatan karena khawatir akan jatuh ke dalam dosa. Wara’ orang yang benar adalah menahan diri dari apa yang tidak berdosa dan tidak khawatir jatuh kedalam dosa, menahan dirinya semata-mata takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah, atau menghindari hal-hal yang makruh dan maksiat.

Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yg syubhat & meninggalkan yg haram. Lawan dari Wara’ adalah subhat yg berarti tidak jelas apakah hal tersebut halal atau haram.

"Sesungguhnya yg halal itu jelas & yg haram itu jelas. Di antara keduanya ada yg syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yg jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yg haram." (HR Bukhari & Muslim).

B. Faktor Zuhud

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud, Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahin Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[10]

C. Zuhud dalam Tasawuf

Meskipun secara etimologis ‘ulama’ berbeda pendapat tentang asal usul kata tasawuf, namun yang paling tepat berasal dari kata sūf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan para sufi maupun aspek kesejarahan. Melihat dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan subyektivitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyumi mengklasifikan definisi tasawuf kedalam tiga varian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, al-bidāyah, kedua, al-mujāhadah, dan ketiga, al-muzāqāt.

Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena dibalik yang ada terdapat Realitas Mutlak. Karena itu muncul kesadaran manusia untuk mendekati-Nya.

Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak. Elemen ini dapat disebut tahap perjuangan tasawuf.

Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Tahap ini dapat disebut tahap pengalaman dan penemuan mistik.[11]

D. Apilaksi Zuhud pada masa Nabi SAW dan Sahabat

1. Kezuhudan Nabi Muhammad Saw.

Semboyan hidup Nabi Saw. Ialah ”Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang”, adalah menunjukkan kesederhanaan dan sikap tidak memperdulikan keberadaan materinya.

Ketika beliau menangkap ketimpangan dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakatnya, tidak tidak pernah mau ikut menyembah berhala dan tidak pernah ikut mabuk-mabukan, berjudi main perempuan atau perbuatan keji lainnya yang pada masa itu menjadi ukuran kebanggaan dan kemajuan. Untuk menemukan solusi dari ketimpangan budaya sejarah serta keyakinan itu, Muhammad berusaha berkomtemplasi di Gua Hirā’, dan proses batiniah pengalaman religius ini mencapai puncak dengan turunnya wahyu kepadanya. Pada saat beliau tenggelam dalam relung renungan yang dalam, berdo’a dan menjalankan hidup zuhud dan menjauhkan diri hiruk pikuk dunia sekitarnya, mencari kebenaran dan hakekat, sehingga beliau lupa pada diri, makan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan.[12]

Dengan kesungguhan dan konsentrasi Muhammad Saw. itu, ditemukan jalan keluar dari problema masyarakatnya dan dengan tingkat kerohanian yang tinggi, Muhammad Saw. dapat mencapai kualitas musyāhadah al-bātiniyah dan pada urutannya memasuki kualitas yang setara dengan malaikat sehingga dapat menerima wahyu. Ibadah seperti ini biasa disebut oleh ahli sejarah dengan tahannuf atau tahannus.

2. Kezuhudan Sahabat

Kehidupan dan ucapan para sahabat adalah sumber yang dapat dipetik sebagai landasan kehidupan zuhud, yakni kehidupan sederhana dan penuh qanā’ah. Mereka mengikuti jejak Rasul Allah Saw. dan memang dalam kenyataannya Allah Swt. memuji mereka:

šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã ……

Artinya: ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.

Dalam mengemukakan praktek kezuhudan sahabat Nabi ini, ditampilkan tujuah orang sahabat, yakni empat khulafā al-Rāsyidin, seorang yang tergolong sepeluh sahābat yang dijamin masuk syurga, dan dua orang dari Ahl al-Suffah yaitu Abū Bakr al-Shidiq, ’Umar Ibn Khattab, ’Usmān ibn ’Affān, ’Ali Abi Talib, ’Abd al-Rahman ibn ’Auf, Ashāb al-Suffah, Abū Hurairah dan Abu Zar al-Gifāri[13]

3. Zuhud Qur’āni dan Urgensinya di Zaman Modern

Praktek zuhud sebagai maqām cenderung ekstrim menolak dunia, dan dunia dianggap dikotomi dengan akhirat atau Tuhan. Pemikiran seperti ini ditangkap oleh sementara pihak tanpa melihat aspek sosiologisnya sebagaimana telah disebutkan. Hal ini perlu diluruskan dan dikembalikan serta dikonsultasikan ke pangkalannya, yakni al-Qurān dan al-Hadĭs.

Pernyataan al-Qur’ān tersebut tidak menghendaki agar umat Islam hidup ‘uzlah (isolasi diri) dari kehidupan dunia, tidak menghiraukan keramaiannya, dan mengabaikan fungsi kekhalifahan manusia. Al-Qur’ān memberi gambaran dan perbandingan bahwa kehidupan yang bernilai adalah kehidupan akherat. Oleh karena itu jangan sampai tergiur dengan gemerlapnya dunia, akan tetapi sebaliknya hendaknya ia jadikan sarana berlomba dalam kebaikan.

III. Kesimpulan

Setiap manusia menghendaki hidup di dunia ini selalu ingin mendapatkan ketenangan dan cinta serta dicintai oleh Allah Swt. Dalam ketenangan tersebut seorang yang memiliki jiwa sufi yang mencapai tingkatan zuhud berusaha untuk meninggalkan kepentingan dunia dan hidup kematerian. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf. yakni ridā, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

Zuhud terdiri dari dua hal

1. zuhud sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tasawuf

2. zuhud sebagai moral (akhlak Islam dan gerakan protes).

Sedangkan definisi wara’ menurut Sufi, adalah bahwa : “Kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang dalam sekejappun dari mengingat Allah. Jadi, wara’ itu permulaannya zuhud, keberadaannya wara’ karena ada rasa takut akan Allah, takut terjadi karena makrifat kepada Allah, makrifat sendiri terjadi karena dekat dengan Allah SWT (taqarrub).

Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat). Ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu dihatinya kecuali Allah.

Praktek zuhud sebagai maqām jangan cenderung ekstrim menolak dunia, dan dunia dianggap dikotomi dengan akhirat atau Tuhan tetapi Al-Qur’ān memberi gambaran dan perbandingan bahwa kehidupan yang bernilai adalah kehidupan akherat, sehingga dijadikan sebagai sarana berlomba dalam kebaikan.

Daftar Pustaka

Al Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, Jakarta

Dr. Abu al-Wafa’al-Ghanimi, 1983, Madkhal ila al Tasawuf al-Islam, Kairao, Dar al-Tsaqafah lil al-Tauzi’

Haikal, Husain. 1965, Hayātu Muhammad. Maktabah Nahdah, Mesir

Harun Nasution, 1995, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta

http://ngaji-online.com/2008/07/24/hilyah-thalibil-ilmi/
Majalah Al Wala’ Al Bala’Edisi ke-34 Tahun ke-3 / 29 Juli 2005 M / 22 Jumadits Tsani 1426 H

http://www.dakwatuna.com/2007/zuhud/

Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sirat al-Mustaqim, Madarij al-sadikin baina manazilu, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Juz I

Syukur, Amin. 1997, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta



[1] Harusn Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta; 1995 hlm. 64

[2] Dr. Abu al-Wafa’al-Ghanimi, Madkhal ila al Tasawuf al-Islam, Kairao, Dar al-Tsaqafah lil al-Tauzi’, 1983, hlm.54

[4] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pengantar M. Quraish Shihab, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 2

[5] Abu a-Qasim ibn ‘Abd al-Karim ibn Hawazi al –Qusyairi a-Naishaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Khair,tt hlm. 110

[6] Hal ini sebagaimana pandangan Ibrahim bin Adham, Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 110

[7] Dikutip dari al-Qusyairi, Ibid, hlm. 109

[8] Qamar Kaylani, fi al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969, h. 32 dan 61

[9] Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sirat al-Mustaqim, Madarij al-sadikin baina manazilu, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Juz I, hal 21

[10] Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 58-59

[11] Syukur Amin, Op Cit, hlm. 12

[12] Haikal, Husain. Hayātu Muhammad. Maktabah Nahdah, Mesir , 1965; hlm. 129

[13] Amin, Syukur, Op Cit, hlm. 54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar