Powered By Blogger

Jumat, 25 Desember 2009

ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh : Muhammad Yusri


Pendahuluan
Demokrasi merupakan salah satu konsep atau sistem politik yang berasal dari Negara barat. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalan organisasi negara dijamin. Hingga saat ini, demokrasi merupakan terminologi politik yang paling populer dan sering dipakai beberapa negara - termasuk juga negara-negara Muslim. Namun para pakar politik belum sepakat, apakah demokrasi itu sekadar alat untuk mencapai tujuan, ataukah menjadi tujuan itu sendiri.
Islam sebagai agama yang cinta damai pada dasarnya tidak mengenal istilah “demokrasi”. Namun esensi dari demokrasi juga menjadi doktrin Islam yang dikenal dengan istilah “musyawarah” yang juga melibatkan banyak orang. Hanya saja musyawarah bukanlah suara terbanyak sebagaimana yang biasa dipraktikkan dalam berdemokrasi. Sebab tidak ada jaminan suara terbanyak memperjuangkan kebenaran. Bisa jadi sekelompok orang yang berwenang bersekongkol mengambil dan memutuskan kebijakan berdasarkan kepentingan pribadi mereka.
Prinsip “musyawarah” dalam Islam berdasarkan kepada nilai-nilai kebenaran dan berlandaskan kepada iman. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah akan diikuti dengan prinsip tawakkal kepada Allah SWT dengan harapan keputusan tersebut mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negaranya. Firman Allah: …dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. Ali Imran: 159).
Karena esensi demokrasi memiliki persamaan dengan musyawarah, maka umat Islam pun banyak yang dapat menerima konsep demokrasi. Hanya saja demokrasi tersebut tetap berlandaskan kepada nilai-nilai kebenaran. Demokrasi yang diterima umat Islam bukanlah bebas berbuat tanpa nilai. Demokrasi bukan bersikap apriori terhadap kejahatan yang terjadi di sekelilingnya. Demokrasi juga bukan bersikap semena-mena terhadap orang yang melakukan kesalahan. Demokrasi tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, perdamaian, dan kebaikan. Tegasnya, demokrasi yang dapat diterima tidak dipertentangkan dengan prinsip-prinsip kebenaran yang lain. Dengan demikian, sikap demokratis yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan adalah suatu kekeliruan.
Pendidikan Islam sebagai pendidikan yang normatif dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai demokrasi.

2. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI
Hal yang paling penting ketika kita membahas demokrasi adalah prinsip-prinsipnya, karena prinsip merupakan inti dan pilar dari demokrasi. Hal ini penting ketika kita akan menghadapkan demokrasi di satu sisi dengan sistem politik Islam di sisi lain.
1. Kedaulatan dan Kekuasaan Tertinggi Ada Pada Rakyat
Asas penting dari demokrasi adalah gagasan yang mengasumsikan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Gagasan atau konsep yang berdasar bahwa kekuasaan itu berasal dari, oleh, bersama dan untuk rakyat. Sebagaimana negarawan Amerika Serikat Abraham Lincoln katakan: Government of the people, by the people, dan for the people.
Kekuasaan dalam terminologi ilmu politik adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu. (Budiarjo, 2003:35) . Sedangkan kedaulatan adalah kepemilikan atas kekuasaan. Dalam negara demokrasi, kedaulatan Tuhan itu terwujud dalam paham kedaulatan rakyat yang bersifat egaliter itu, sehingga demokrasi dipandang sebagai mekanisme kenegaraan yang niscaya dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai ketuhanan itu. (Jimly asshiddiqie, tt:243) . Inilah yang dikenal sebagai Vox Populi Vox Dei, suara Tuhan suara rakyat. Jadi dalam negara negara demokrasi Tuhan bukannya dianggap tidak ada, namun kedaulatan dan kekuasaannya telah diserahkan kepada rakyat sepenuhnya.
Prinsip utama demokrasi adalah demos yang berarti persamaan. Persamaan yang dimaksud adalah, bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama (hak dipilih-memilih dan mendapat privilege) dalam berpartisipasi dipemerintahan. Sementara yang dimaksud kratos yaitu semua keputusan dibuat secara bersama (collectively). Rakyat secara langsung atau tidak (perwakilan) ikut menentukan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan, atau yang dikenal dengan “pemerintahan rakyat” (people’s rule). Di alam demokrasi kedaulatan dan keputusan apapun sepenuhnya berada di tangan rakyat bukan di tangan pemimpin.
Pandangan tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam wacana demokrasipun memang berkembang, ketika ada gagasan bahwa sebetulnya hukumlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Karena itu kekuasaan tertinggi ada pada hukum bukan pada rakyat, yaitu yang disebut dengan istilah nomokrasi (nomos : nilai). Namun demikian, hal ini sesungguhnya tidak menafikkan prinsip demokrasi, sebab hukum-hukum itu sendiri harus ditentukan dan disepakati rakyat. Karena itu muncullah istilah demokrasi berdasarkan hukum (institutional democracy), yang mengandung empat prinsip pokok (Jimly Asshiddiqie, tt:241):
• Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama
• Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dan pluralitas
• Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama
• Mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme yang disepakati bersama

Ide kedaulatan rakyat, secara praktikal menuntut adanya keterwakilan sebesar mungkin partispasi masyarakat. Namun tentu hal ini tidak selalu ideal karena majemuknya rakyat. Karena itu mekanisme-mekanisme tertentu digunakan sebagai perangkat untuk membuat sebesar mungkin partisipasi, sehingga suara rakyat sebesar mungkin bisa diakomodasi. Karena itu dikenalah mekanisme pemungutan suara langsung, pemungutan suara terwakilkan, dan musyawarah. Jadi musyawarah bukanlah inti dari demokrasi, ia hanyalah salah satu mekanisme untuk ”mendengar” suara masyarakat.
2. Persamaan (Equality)
Persamaan yang sering disebut sebagai inti demokrasi modern yang dianut saat ini adalah persamaan tanpa batas, melintasi agama, suku, keturunan, gender dalam segala aspek kehidupan, sebab kratos atau people di sini tidak memandang perbedaan-perbedaan agama, suku, keturunan, gender, dan sebagainya. Namun demikian, pembatasan persamaan juga sangat mungkin dilakukan jika hukum yang disepakati menentukan demikian. Jadi ide persamaan sangat dipengaruhi oleh apa yang rakyat maksud inginkan dari persamaan tersebut.
3. Kebebasan (liberty)
Pondasi lain dari demokrasi adalah kebebasan. Kebebasan di sini adalah ketiadaan paksaan pada rakyat untuk menentukan apa yang ingin disepakatinya dan apa yang ingin dijadikannya sebagai hukum. Thomas Jefferson sebagai pemain utama revolusi Amerika menuliskan dalam Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence), dalam paragraf yang dikutip darinya pada permulaan bagian ke-2 Jefferson menunjukkan keseluruh filosofi pemerintahan demokratis yang diinginkan Amerika. Jauh dari negeri asal mereka, koloni-koloni tersebut telah terbiasa dengan sesuatu yang baru yang relatif bebas di sebuah daratan yang berbukit. Banyak dari mereka berada di sana untuk bebas dari tekanan politik maupun agama. Hal ini kembali menegaskan bahwa demokrasi adalah anti-tesis terhadap kungkungan teologis dan kekuasaan otoriter.
Satu-satunya yang bisa membatasi kebebasan dalam demokrasi adalah hukum-hukum yang disepakati oleh masyarakat itu sendiri, bukan nilai, hukum, atau norma yang bukan dari kesepakatan rakyat, apalagi agama.
4. Keadilan (Justice)
Pondasi keempat dari demokrasi adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah perlakukan hukum yang sama terhadap setiap warga negara berdasarkan kepada hukum yang disepakati, tanpa membedakan suku, agama, dan ras serta perbedaan lainnya. Konsep-konsep keadilan juga sangat ditentukan oleh apa yang rakyat sepakati tentang keadilan.
Sebagaimana persamaan dan kebebasan, tafsir atas keadilan dan batas-batasnya sangat ditentukan oleh alam pikiran rakyat yang termaktub dalam hukum yang mereka buat.
3. Hubungan Islam dan Demokrasi
Sikap umat Islam terhadap demokrasi, kiranya dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu:
Kelompok Pertama, umat Islam yang menerima demokrasi. Sebagian dari kalangan cendekiawan Islam dan para politisi Muslim ini berpendapat bahwa Islam sejalan dengan demokrasi, pendapat-pendapat ini memang sangat beragam pada titik tekan, bobot penerimaan, cara pandang, dan filosofinya, kadang dalam beberapa hal diantara mereka sendiri berbeda pandangan. Namun demikian, berbagai pendapat ini pada dasarnya menunujukan sebuah penerimaan terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Penerimaan ini dikarenakan (apa yang dianggap) prinsip-prinsip demokrasi sesungguhnya juga terkandung dalam ajaran Islam, seperti keadilan (‘adl), persamaan (musawah), musyawarah (syura), dan sebagaianya. Ulama terkemuka seperti sayyid sabiq mengatakan karena asas musyawarah adalah bagian dari Islam, maka Islam sesuai dengan jiwa demokrasi (Sabiq,1980).
Syaikh DR. Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat bahwa substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam seraya mengutip hadits dan bahkan mengatakan demokrasi bagian dari Islam. Beliau mengutip sebuah hadits :
“Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka skalipun hanya sejengkal....” lalu beliau menyebutkan yang pertama diantaranya, “Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya” (Ibnu Majjah)

Dengan menganalogikan hadits ini pada substansi demokrasi, DR. Yusuf Qaradhawy menyimpulkan bahwa substansi demokrasi adalah dari Islam (Qaradhawy, 1997). Meskipun demikian asy-syaikh mengakui kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem demokrasi selain kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Dengan menggunakan kaidah ushul fiqih “apabila yang wajib tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib”, asy-syaikh berpendapat bahwa ummat Islam perlu mengambil manfaat dari demokrasi.
Pemikir besar Muslim lain yang menerima konsep demokrasi adalah Prof. Fazlur Rahman. Beliau mengatakan bahwa Syura’ adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam yang kemudian didukung oleh al-Qur’an melalui surat 43:38 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”

Nabi sendiri, lanjut Rahman diperintahkan untuk berkonsultasi pada pemuka-pemuka masyarakat sebelum mengambil keputusan (QS 3:159) :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Setelah Nabi SAW wafat, al-Quran nampaknya menghendaki al-Qur’an menghendaki kepemimpinan kolektif QS 42:38
Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

Menurut Rahman, al-Quran hanya dapat mentolerir kepemimpinan tunggal sementara waktu menunggu kedewasaan dari masyarakat, sebab bagaimana mungkin masyarakat yang belum dewasa dapat menghasilkan pemimpin yang matang. (Rahman, 1983).
Tokoh NU terkemuka seperti Abdurrahman Wahid lebih jauh bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai Islam yang sesuai harus menjadi motor penggerak demokrasi, sedangkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai (Islam) haruslah dibuang.
“...Dan nilai-nilai Islam yang sangat demokratis, harus menjadi motor bagi upaya demokratisasi Indonesia. Sedangkan nilai-nilai yang tidak emansipatif, seperti wanita lebih rendah kedudukan hukumnya daripada pria, haruslah diganti” (Wahid, 2004)

Selanjutnya Abdurahman Wahid menegaskan bahwa demokrasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi bukan saja demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal tidak Ekspoloitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Dalam demokrasi, pluralisme tidak semata-mata sebagai suatu yang human, tetapi juga karunia Allah yang bersifat permanen (Sunnatullah) karena tanpa pluralisme sejarah dan peradaban manusia akan tidak produktif, bahkan kehilangan perspektifnya yang bersifat dinamis dan dialektis. Abdurahman Wahid mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam dan implementasi islam sebagai etika sosial dalam kehidupan Negara pluralistik mengandung implikasi bahwa dalam konteks Demokrasi Islam “tidak” di tempatkan sebagai ideology alternatif seperti memposisikan “Syari’ah” dalam posisi berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi islam terhadap demokrasi bisa di capai bila dari ajaran islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah (Syura” kebebasan dan rule of law, karena islam dalam satu aspeknya merupakan agama hukum)
Amien Rais dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an (Ali Imran 3:159 dan As-Syura 42:38) tentang Musyawarah atau Syura, Amien Rais dengan tegas menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan prinsip dasar penolakan terhadap Elitisme. Menurut Amin, mungkin benar mereka yang mengatakan bahwa musyawarah atau syura dapat di sebut demokrasi, tetapi Amin Secara sengaja berusaha mengelak untuk tidak menggunakan istilah demokrasi dalam konteks sistem politik Islam. Karena menurutnya, istilah demokrasi saat ini menjadi konsep yang di salah pahami, dalam pengertian bahwa beberapa negara, yang banyak atau sedikit anti-demokrasi, dapat menyebut sistem mereka demokratis. Tetapi hanya mengemukakan bahwa istilah demokrasi dewasa ini telah di salah pahami sesuai dengan kepentingan politik rezim tertentu. Amin mengemukakan tiga alasan dalam penerimaannya terhadap demokrasi :
1. Secara konsep dasar, al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka.
2. Secara historis, Nabi mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat.
3. Secara Rasional, umat islam di perintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka,
Itu menunjukkan bahwa sistem politik yang demokratis adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik dalam sejarah umat manusia Sebagai realisasinya, kemudian di buat lembaga perwakilan rakyat ( Parlemen) yang anggota-anggotanya dipilih oleh semua warga Negara Secara bebas, langsung, jujur dan adil. Institusi perwakilan rakyat inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan politik yang disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat pada kurun waktu terbatas dan tertentu.
Nurcholis Madjid Nurcholis Madjid mengemukakan pandangannya bahwa nilai-nilai islam dan nilali-nilai demokrasi adalah bertentangan dari sumber (Ajaran v.s Paham Barat) tetapi ia melihat kesesuaian antara islam (musyawarah) dan demokrasi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan praktis, manusia di beri kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme sosial politik, ijtihad menghasilkan demokrasi yang tentu saja dirangkum dari diskusi-diskusi dan argument-argumen. Karena keterbatasan-keterbatasan manusia, ijtihad harus dilakukan Secara kolektif dan demokratis, khususnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut urusan publik, dan memohon kepada Tuhan untuk membimbing hamba-Nya “kejalan yang lurus” Maka menurut pemikiran Tokoh-tokoh ini mereka menerima dan bahkan mendukung demokrasi dalam pengertian tataran realisme politik, karena penerimaan mereka semata-mata dalam pengertian praktis kontemporer. Namun dalam pengertian filosofis, mereka masih mengakui supremasi perintah Tuhan (syari’ah) sebagai standar dasar yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
Beberapa pandangan dari kalangan luar Islam yang berpendapat serupa misalnya diungkap salam sebuah seminar "Islam and Democracy" di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, mantan duta besar Inggris untuk Indonesia Mike O’Brien mengatakan :
"Beberapa kalangan di Barat mengatakan, Islam dan demokrasi tidak sejalan, dan bahwa Islam menghasilkan sikap patuh yang bertentangan dengan sifat politik demokrasi yang pada hakikatnya bersifat kontradiktif. Ini tidak benar," tradisi demokrasi ada dalam pemikiran Islam. Dalam arti, Nabi Muhammad menjalankan komunitas Islam, mula-mula sesuai dengan "shura" atau konsultasi. Dan konsep konsultasi tetap ada sampai sekarang di berbagai tingkat dalam komunitas Muslim”

Sesungguhnya jika kita analisis lebih jauh maka kelompok pertama ini bisa dibagi dalam dua sub-kelompok lagi. Sub-kelompok pertama adalah mereka yang mengetahui demokrasi memiliki problem dilihat dari ideologi Islam, dan sub kelompok yang kedua adalah mereka selangkah lebih jauh, dengan berprinsip bahwa demokrasi merupakan sebuah keniscayaan dan harus diterima penuh, adapun beberapa aspek keagamaan yang dianggap tidak disesuai harus diinterpretasi ulang, disesuaikan atau dibuang. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa pandangan politik seperti syaikh DR. Yusuf Qaradhawy sama persis dengan sikap politik sejenis Abdurrahman Wahid atau dengan yang lainnya. Kesamaannya terletak pada penerimaannya terhadap demokrasi, sedangkan perbedaannya ada pada cara pandang terhadap penerimaan tersebut.
Kelompok kedua, adalah ummat Islam yang memandang demokrasi sebagai sistem yang problematik dan karena itu ia tidak lekas menerimanya. Sebagaimana kelompok pertama, mereka berbeda dalam titik tekan, bobot penolakan, dan cara pandang yang menyebabkan mereka menganggap demokrasi problematik.
Syaikh Hassan al-Banna memang tidak mengatakan bahwa Ikhwan al-Muslimun (IM) menerima atau menolak demokrasi, namun dalam Risalah Pergerakannya, ia memiliki pandangan pribadi terhadap kepartaian (bukan politik) yang meragukan kemampuannya untuk mengatasi kemerosotan ummat terutama di negara-negara berkembang seperti Mesir
“Tuan-tuan, saya berkeyakinan bahwa partai politik, jika pun sesuai untuk sebagian kondisi dan sebagian negara, maka belum tentu sesuai untuk keseluruhannya. Dan partai politik selamanya tidak sesuai untuk negara Mesir, khususnya pada dekade ini...” (al-Banna, 1998)
Hasan Al-Banna memang tidak menolak demokrasi dan sistem kepartaian secara nyata, namun beliau meyakini bahwa perjuangan menegakkan kembali ummat Islam hanyalah bisa dicapai melalui pembinaan, mental, akhlaq, jiwa, pemikiran, pendidikan dan fisik.
Muhammad Natsir, salah seorang tokoh, pemikir, salah seorang ’ulama Islam Indonesia yang sempat terjun juga dalam dunia politik mendukung demokrasi walaupun dia mempunyai penafsiran berbeda tentang demokrasi. Menurutnya, Islam adalah system demokrasi, dalam pengertian bahwa Islam itu menolak istibdad (despotisme), absolutisme dan otoritarianisme. Akan tetapi ini, tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan melalui Majelis Syura (Dewan Permusyawaratan). Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakah pembasmian minuman arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan parlemen untuk penghapusan judi dan kecabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semua bukan hak musyawarat Parlemen.
Kita akui demokrasi baik! Akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. Perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi ia tidak pula sunyi dari pelbagai sifat-sifat berbahaya. Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip tersendiri, yang mempunyai sifat-sifat tersendiri pula. Islam tidak usah demokrasi 100% , bukan pula otokrasi 100%, Islam itu....yah , ”Islam”. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi. Meskipun Natsir dikenal sebagai democrat sejati dan pendukung demokrasi, tetapi dia tetap mendukung kedaulatan Tuhan.
DR. Imaduddin Abdurrahim, salah satu tokoh perintis pergeakan Islam kampus menuliskan dalam bukunya ”Islam Sistem Nilai Terpadu” [9]: ”Para ’ulamaa kita ketika itu dengan sengaja tidak menggunakan istilah ”kedaulatan rakyat”, yang biasanya dipakai sebagai terjemahan dari kata ”demokrasi”, yang berasal dari falsafah barat. Demokrasi ini berasal dari kata ”demos” dan ”cratus”, yang berarti rakyat punya kedaulatan membuat dan menciptakan hukum. Di dalam ajaran Islam, kita meyakini bahwa hanya Allah yang berdaulat menciptakan hukum Manusia hanya boleh membuat derivasi hukum menjadi peraturan pelaksana dari sunnah Allah SWT...”
”Kebanyakan negara berpenduduk mayoritas muslim sekarang ini telah merubah landasan dan falsafah hidup mereka menjadi nasionaisme, sosialisme, feodalisme, dengan sistem authoritarisme bahkan sekularisme dan isme-isme lain yang asing bagi ajaran Islam yang asli...” Pemikir Islam muda Adian Husaini M.A. memberikan catatan penting dalam bukunya “Wajah Peradaban Barat”[4]: “bahwa di samping memberikan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif, namun demokrasi (liberal) di barat pun mendapat kritikan tajam. Demokrasi (liberal) bukan hanya memiliki nilai positif, namun juga menyimpan kelemahan internal dan fundamental. Dalam demokrasi seorang pintar disamakan hakya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan pemabuk dan pezina. Seorang yang taat beragama disamakan haknya dengan seorang preman, pengangguran atau oportunis (Husaini, 2005).”
Dalam CAP Adian Husaini, MA ke-33, Adian Husaini melanjutkan meskipun partai Islam seperti Masyumi mengikuti pemilu demokratis tahun 1955, namun apa yang disebut demkrasi oleh masyumi sama sekali berbeda dengan apa yang dimaksud demokrasi saat ini. Menurut masyumi demokrasi ada di bawah ketentuan syariat. “Ambillah contoh, Partai Masyumi. Partai ini jelas terlibat dalam proses demokrasi (pemilu) yang sering dipuji sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Masyumi juga mendukung demokrasi. Tetapi, “demokrasi” oleh Masyumi sudah dicoba untuk “diislamkan”. Demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan yang tidak fasis dan otoriter. Hal itu bisa dilihat dalam rumusan Rancangan UUD Republik (Islam) Indonesia usulan Masyumi, yang menyatakan, bahwa “kedaulatan adalah di tangan seluruh rakyat Indonesia sebagai amanah Tuhan kepada mereka.” Naskah itu juga menegaskan, syariah sebagai “sumber hukum” tertinggi dalam negara. Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan dengan berpedoman kepada norma-norma syariah dan tidak melampaui batas yang ditetapkan oleh Tuhan.
Konsep Masyumi tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat itu mirip dengan konsep “theo-demokrasi” yang dirumuskan oleh Abul A’la al-Maududi, pemikir besar Pakistan dan pendiri Partai Jamaat Islami. Apakah konsep demokrasi dan kedaulatan rakyat Masyumi itu tidak demokratis? Bagaimana dengan konsep masyarakat komunis yang diperjuangkan oleh PKI ketika itu? Apakah konsep komunis itu tidak demokratis? Lalu, bagaimana dengan konsep nasionalis-sekuler yang diperjuangkan oleh PNI? Apakah konsep masyarakat sekuler versi PNI itu demokratis? Konsep Masyumi sangatlah masuk akal. Rakyat memang berdaulat, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh Tuhan. Oleh syariat. Artinya, jika rakyat bersepakat untuk menghalalkan pelacuran, perjudian, korupsi, dan sebagainya, maka hal itu tidak dapat dibenarkan. ”
DR. Anis Malik Toha dalam disertasinya membuktikan bahwa pada hakikatnya pluralisme adalah sebuah agama yang menentang keberadaan agama-agama. Beliau menganalisis bahwa demokrasi adalah perwujudan liberalisme dalam ranah politik. Karena menurutnya liberalisme terbukti memiliki karakter totaliter (totallity)[5], maka demokrasi alih-alih memproyeksikan diri sebagai wasit yang netral diantara kelompok agama-agama yang sedang bertikai dan saling berebut klaim kemutlakan, dia sendiri malah berubah peran menjadi salah satu kelompok tersebut.[6]
Senada dengan itu banyak ahli politik berpendapat serupa, misalnya pengamat politik Islam dan Peneliti Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) DR. Bachtiar Effendy menekankan bahwa penerimaan demokrasi di dunia Islam Indonesia khususnya haruslah disertai pribumisasi, beliau juga mengkritik cendekiawan Muslim yang melakukukan demokratisasi Islam yang terkesan dipaksakan. Dalam sebuah diskusi bertema “Dinamika Wacana Politik Islam di Tengah Isu Politik Modern”
Bahtiar Effendy menyatakan :“…Jangan terburu-buru mengatakan cocok dengan Islam, dan mengapa Islam yang dicocokkan, bukan yang lain yang dicocokkan dengan Islam? Ini sumber masalah, karena menempatkan diri pada posisi subordinat dengan Barat dan modernitas, menyama-nyamakan Islam dengan isu-isu baru, demokrasi dan civil society atau mengislamkannya. Maka pertanyaannya, dimana kesadaran teologis anda? Padahal anda terlanjur mengatakan Islam adalah ya’lu wala yu’la ‘alaih -shalih li kulli makan wa zaman. Sekarang yang shalih li kulli makan wa zaman menurut orang-orang adalah demokrasi, kapitalisme, market, globalisasi. Anda kalah digilas! Ini seperti di Indonesia, dimana proyek privatisasi yang murah dibeli oleh orang-orang kaya. Ini adalah kenyataannya!”
Demikian juga DR. Mahathir Muhammad yang menyarankan agar dunia Islam tidak perlu tergesa-gesa menerima demokrasi, ``Malah raja dan diktator yang baik, amanah kepada tugasnya dan mematuhi ajaran agama (Islam) boleh membawa pemerintahan yang lebih baik daripada Presiden dipilih yang melakukan apa sahaja untuk mengekalkan popularitinya.``Di bawah pemimpin yang jujur, sama ada raja atau Perdana Menteri atau Presiden, dibantu oleh para penasihat dan pakar, sebuah negara boleh membangun ke peringkat maju,'' (Utusan)
Kelompok ketiga, adalah ummat Islam yang telah memosisikan diri secara jelas menolak demokrasi. Meski bisa dikatakan sama dalam hal memandang demokrasi, namun kelompok-kelompok ini mungkin berlainan dalam aspek-aspek lain di dalam Islam. Mengomentari pendapat syaikh DR. Yusuf al-Qaradhawy yang mengatakan substansi demokrasi berasal dari Islam, Ustadz Jamal Sulthan mengatakan bahwa: “yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwa DR. Qaradhawy salah secara keseluruhan adalah, Dr. Yusuf al-Qaradhawi menganggap bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka... dan seterusnya. (Memang) Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Namun, demokrasi secara substansial adalah penolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan sejarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan agama.”
Ustadz Jamal Sulthan melanjutkan bantahannya dengan mengatakan bahwa :
Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan: "Sesungguhnya demokrasi itu dari Islam," maka dibenarkan pula untuk mengatakan: "Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!". Sedangkan kita akan mengatakan: "Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan (budaya) Barat, hal itu tidak memberikan manfaat bagi kita sebagai kaum muslimin.
Salah seorang pengikut Hassan al-Banna, Sayyid Quthb bahkan lebih jelas menentang ide-ide demokrasi. Terminologi jahiliyyah menurut beliau bukan hanya berlaku untuk Arab pra-Muhammad SAW, namun berlaku untuk setiap kondisi di mana kedaulatan Allah diabaikan, dan nasionalisme, komunisme serta demokrasi adalah manifetasi dari jahiliyyah pada abad-abad ini, sebab ketiganya merampas kedaulatan Tuhan.
Pergerakan Hizb ut-Tahrir (HT) adalah salah satu yang sangat menentang ide-ide demokrasi dan bependapat bahwa sebahagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar’i. Hizb ut Tahrir memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melangar azas wakalah (perwakilian), sebab salah satu syarat wakalah terlanggar yakni materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi, yang menurut pandangan HT adalah bathil. (tentang kebathilan demokrasi ini dapat di baca dalam buku “Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis”)
Nukilan berbagai pendapat di atas dimaksudkan untuk melihat bagaimana para cendekiawan, ulamaa, dan politisi berbeda pendapat dalam spektrum yang sangat luas tentang demokrasi. Jumlah pemikir yang dinukil tidak serta-merta menunjukkan kebenaran dari pandangan mereka tentang islam terhadap demokrasi. Penyertaan pandangan mereka dalam hal ini hanyalah dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan pandangan diantara pemikir muslim saat ini.

Kesimpulan
Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang sangat dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak menyangkut hal-hal yang substansial dalam aqidah. Jika menyangkut hal yang sudah qath’i (pasti), ummat Islam harus sudah bersepakat untuk hal itu. Misalnya soal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai hukum yang sudah jelas dan terperinci yang sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di sini ummat Islam tidak diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur kehidupannya berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, kemaslahatan kehidupan sudah pasti akan selaras dan sejalan dengan tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik untuk memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.
Tidak mudah menyimpulkan relasi Islam dengan demokrasi. Penyebab dari kesulitan ini, yang akhirnya menimbulkan perbedaan kesimpulan
Pertama, terjadi kekacauan terminologi yang diakibatkan oleh pemahaman yang salah terhadap terminologi dan kata kunci-kata kunci. Misalnya berkaitan dengan terminologi demokrasi, pluralisme, nasionalisme, musyawarah, syura, kedaulatan, kekuasaan, dan lain-lain. Kedua, kesalahan dalam memahami karakteristik demokrasi, yang menimbulkan kesalahan dalam menentukan apa yang disebut prinsip dan apa yang tidak. Misalnya apakah musyawarah itu hakikat demokrasi atau bukan? Apakah partispasi rakyat dalam demokrasi sama dengan partisipasi ummat dalam sistem politik Islam? Dan apakah partisipasi egaliter itu prinsip demokrasi atau bukan? Ketiga, kekacauan dalam memahami Islam sebagai sebuah pandangan hidup saat memandang konsep demokrasi.
Perlu ditegaskan dalam hal ini, bahwa tulisan ini tidak hanya dimaksudkan untuk memahami relasi demokrasi dengan islam secara ilmiah, namun juga berusaha menghilangkan beberapa ketidaksesuaian demokrasi dari sudut pandang worldview Islam, seringkali langkah ini disebut islamisasi. Dan lebih jauh dari itu menganalisis strategi politik Islam dalam dunia yang dikuasai oleh sestem demokrasi tersebut. Untuk tujuan ini diperlukan setidaknya empat usaha :
pertama, memahami kelahiran demokrasi sendiri sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu hingga saat ini. Hal ini selain akan memahami bagaimana demokrasi berevolusi, juga akan membantu kita memahami demokrasi sebagai sebuah dialektika, ideologi, jalan hidup dan bukan hanya memahami demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan sebuah mekanisme praktis pemilihan wakil rakyat saja.
kedua, memahami Islam sebagai sebuah ideologi yang meski sebagian orang tidak setuju dengan Islam sebagai sistem politik, namun pada kenyataannya ajaran Islam menyentuh aspek-aspek politik. Dalam hal ini sangat penting memahami perjalanan Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem politik yang dibawa Nabi Muhammad SAW hingga terbentuknya negara Madinah dan perjalanan ummat Islam dari Khulafa ur Rasyidiin hingga kejatuhan Utsmaniyyah di Turki pada 3 Maret 1924 dengan dilucutinya Abdul Hamid II dari kekhalifahan Utsmani. Pemahaman terhadap asas-asas dan karakteristik Islam terutama menyangkut fiqih siyasah dan perilaku hukum Islam ketika berhadapan dengan hal-hal baru. Termasuk pula di dalamnya pandangan dan pendapat para ulama terhadap masalah politik, kenegaraan dan demokrasi itu sendiri.
Ketiga, adalah langkah memandang demokrasi dari paradigma sistem politik Islam. Menganalisis terminologi-terminologi kunci dari demokrasi dan kesesuaiannya dengan terminologi politik dalam Islam. Kemudian melakukan islamisisasi demokrasi, di mana aspek-aspek demokrasi yang tidak sesuai dengan pandangan hidup islam harus dibuang, dan sisanya diadopsi. Jika aspek-aspek demokrasi yang ditolak merupakan prinsip-prinsip paling utama, maka akan kita katakan bahwa demokrasi sama sekali tidak Islami, atau tidak ada demokrasi islami. Sebaliknya, jika perbedaan islam dan demokrasi hanya dalam wilayah teknik, atau beberapa pilar yang tidak hakiki, maka kita masih mungkin memberi sifat islam pada demokrasi, atau kita sebut „demokrasi islam“.
Keempat, adalah karena pada kenyataannya demokrasi menjadi sebuah pilihan terbaik dibanding otoritarianisme, maka kita perlu menganalisis: jika seandainya demokrasi tidak sesuai dengan Islam, lalu apakah mungkin sistem politik demokrasi digunakan sebagai jalan keluar darurat“ yang bisa dipakai untuk mengembalikan sistem politik Islam atau tidak. Jika memang mungkin apakah boleh menurut syariat Islam. Tentu masalah boleh dan tidak kita harus merujuk pada pendapat para 'ulamaa
DAFTAR PUSTAKA
Abdul AziS Thaba, 1997. Islam dan Negara dalam politik Orde Baru, Jakarta. Gema Insani Press
Abdurahman Wahid. dan Amien Rais. 1996. Islam Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Anis Mata, tt. Menikmati Alam Demokrasi, Insan Media Publishing House, hal 21.
Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik, , Gramedia
Jimly Asshiddiqie, tt. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, , KonPress
http://ishacovic.multiply.com/journal/item/118 (didownload 10 maret 2009).
Muhammad Natsir, 1973, Islam dan Demokrasi. Jakarta : bulan bintang
----------------------, 1957. Islam sebagai Landasan Negara, Bandung
Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitutusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Liberty
Riswanda Imawan, 1997. Membelah Politik Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.
William Ebestein, 1988. “Democracy”, New York. Macmillan Educational Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar